Selasa, 26 Juni 2012

Fenomenologi Max Scheler

Riwayat Hidup
Max Scheler adalah filsuf yang terkenal dari aliran fenomenologi Husserl. Dia dilahirkan di Munchen tahun 1874, mendapat gelar doctor pada tahun 1897 dibawah pimpinan filsuf Rudolf Eucken. Sesudah menjadi tersohor karena karangan-karangannya, maka pada tahun 1928 dia dipanggil ke Frankrut a.M untuk menjadi guru besar. Akan tetapi sebelum mulai tugasnya, dia sudah meninggal dunia, demikianlah secara singkat riwayat hidup Max Scheler.[1]

Pokok Pemikiran
Disamping Husserl, filsuf lain yang juga terlibat dalam filsafat fenomenologi adalah Max Scheler. Scheler juga menggunakan metode Husserl dan tidak berusaha untuk menganalisa dan menerangkan lebih jauh tentang suatu obyek dan gejala-gejalanya. Bagi Scheler, fenomenologi merupakan “jalan keluar” ketidakpuasannya atas logisisme-transendentalis Immanuel Kant dan Psikologisme Empiris.
Max Scheler berpikir dengan seluruh hati dan jiwanya. Orang seperti Scheler sebetulnya niscaya hanya bisa berpikir secara fenomenologi. Artinya bagi manusia dengan tabi’at semacam itu, cara berpikir yang sesuai ialah terjun dan menenggelamkan diri dalam pengalaman yang kongkrit. Bagi Scheler, yang terutama bukanlah pikiran, yang terutama ialah perbuatan. Berbuat, sekali lagi berbuat, mengalami dan merasakan, itulah dan disitulah letak pengertian menurut Scheler.[2]
Max Scheler merupakan salah satu orang yang sangat mengagumi pemikiran Husserl tentang fenomenologi. Pada awalnya ia memang tidak setuju dan menentang seluruh aliran-aliran falsafah pada waktu itu, tentunya juga dengan metodenya. Buktinya, dari sekian lama ia memcari metode sendiri dan pada akhirnya ia menemukan metode yang menurutnya baik. Metode tersebut adalah metode yang dibawa oleh Husserl yaitu metode fenomenologi.
Scheler mendasarkan metode fenomenologinya kepada hati dan perasaan. Maksudnya, untuk menggapai kebenaran hakiki manusia harus berinteraksi dengan objek sebagaimana teori Husserl. Namun, ketika manusia menghadapi fenomena, yang tampak sebagai kebenaran merupakan adalah sesuatu yang tampak pada hati dan perasaan. Mungkin Scheler tergila-gila dengan cinta atau terjerat virus-virus cinta. sehingga dalam menghadapi fenomen ia menghadapinya dengan cinta.[3]
Selain itu Scheler menambahkan sesuatu di metode fenomenologi Husserl. Inilah diantara yang menjadi ciri has metode Scheler. Scheler mengatakan manusia harus menahan segala sesuatu atau pengakuan dalam menghadapi realita. Manusia harus melepaskan diri dari dari kecendrungan ia atau tidak, begini atau begitu. Sehingga yang tersisa hanyalah realitas dari fenomen itu sendiri.
Selanjutnya, tidak hanya melepaskan dari apa yang telah dijabarkan di atas. Manusia juga harus melepaskan dirinya sendiri dari diri sendiri dan ikatan yang bersifat kegemaran, kesenangan dan terutama dari belenggu hidup yang rendah. Dalam hal ini Scheler tampak sebagai orang yang bijak sana. Karena ia menyarankan untuk melakukan sesuatu yang terpuji sepert jangan sombong, rendah hati dan lain sebagainya.

Pandangan Nilai Menurut Max Scheler
Pada bagian ini, kita akan melihat pandangannya mengenai nilai. Bagian ini akan dibagi ke dalam sub-sub: pertama, pemahaman tentang nilai; kedua, hierarki nilai.

Pemahaman tentang Nilai
Pengertian tentang Nilai
Untuk memahami pengertian nilai Max Scheler, saya mencoba untuk memisahakan terlebih dahulu dua sifat yang terdapat pada nilai (material dan apriori), kendati Scheler tidak memisahakan pembahasan dua dua sifat nilai ini kedalam point point seperti yang saya lakukan. Akan tetapi, di sini saya mencoba untuk memisahkannya guna memahami pandangannya mengenai nilai tetapi kita tetap diajak unutk mebacanya dalam satu kesatuan.

Nilai Material 
Nilai itu material. Material di sini bukanlah dalam arti “ada kaitan dengan materi”melainkan sebagai lawan dari formal, materi sebagai “berisi”. Berisi itu berartikualitas nilai tidak berubah dengan adanya perubahan pada barang atau pada pembawanya. Misalnya nilai itu selalu mempunyai isi “jujur”, “enak”, “kudus”,”benar”, “sehat”, “adil”, yang semuanya itu berbeda dan masing-masing memiliki nilai. Contoh lain, misalnya: pengkhianatan seorang teman tidak mengubah nilai persahabatan.
Nilai persahabatan tetap merupakan nilai persahabatan, tidak terpengaruh jika teanku berbalik mengkhianatiku.

Nilai Apriori
Nilai merupakan kualitas apriori. Max Scheler mengatakan bahwa kebernilaian nilai itu mendahului pengalaman. Misalnya: apakah makanan tertentu enak atau tidak,harus kita coba dulu. Akan tetapi, bahwa “yang enak” merupakan sesuatu yang positif, sebuah nilai, dan bahwa yang bernilai “yang enak” dan bukan “yang enak’ itu tidak perlu kita coba dulu. Begitu juga kejujuran, keadilan; bahwa kejujuran, Keadilan sendiri merupakan sebuah nilai yang kita ketahui secara langsung begitu kita menyadari apa itu kejujuran dan keadilan. Maka, kejujuran dan keadilan pertama tama bukanlah sebuah konsep mengenai kejujuran dan keadilan melainkan nilai kejujuran dan nilai keadilan.

Hierarki Nilai
Scheler percaya bahwa nilai itu tersusun dalam sebuah hubungan hierarki apiori. Dan ini harus ditemukan di dalam hakikat nilai itu sendiri, bahkan berlaku juga bagi nilai yang tidak kita ketahui. Dalam keseluruhan realitas, nilai hanya terdapat satu susunanhierarki yang menyusun seluruh nilai masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Suatu nilai memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah daripada yang lain. Menurut Max Scheler, kenyataan bahwa suatu nilai lebih tinggi daripada yang laindapat dipahami dalam suatu tindakan pemahaman khusus terhadap nilai, yaitu dengan tindakan preferensi; suatu pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai.
Disini perlu dibedakan tindakan preferensi dan tindakan memilih. Tindakan memilih merupakan kecenderungan yang telah mencakup pengetahuan tentang keunggulan nilai, sedangkan tindakan preferensi merupakan tindakan mengunggulkan atau mengutamakan, yang diwujudkan tanpa menunjukkan adanya kecenderungan, pemilihan atau keinginan.

 Penutup
Sebagai seorang filsuf Max Scheler mengarahkan serta mendasarkan pemikirannya pada masalah nilai. Berhadapan dengan pertentangan antara pandangan objektif dan subjektif mengenai nilai. Scheler memandang nilai sebagai suatu kualitas independen yang tidak berbeda dengan benda namun tidak tergantung pada benda; benda adalah sesuatu yang bernilai. Sebagaimana warna hijau tidak berubah menjadi merah jambu manakala objek yang berwarna biru di cat merah jambu, demikian juga halnya dengan nilai yang tetap tidak berpengaruh oleh perubahan yang terjadi dalam objek yang digabunginya. Pengkhianatan seorang sahabat, misalnya, tidak mengubah nilai persahabatan. Namun, meskipun demikian penangkapan akan nilai-nilai tersebut tergantung bagaimana keterbukaan manusia sebagai subjek untuk dapat menangkapnya sebagai.
Nilai dalam pandangan Scheler secara apriori tersusun secara hierarkis dari tingkat yang tinggi menurun ke tingkat lebih rendah. Hierarki ini tidak dapat dideduksikan secara empiris, tetapi terungkap melalui tindakan preferensi, yaitu melalui intuisi preferensi-evidensi. Empat tingkat Hierarki nilai ini terdiri dari, yaitu : pertama, adalah nilai kesenangan -Pada tingkat terendah, kita dapat menemukan deretan nilai-nilai kesenangan dan nilai kesusahan, atau kenikmatan dan kepedihan. Kedua, adalah nilai vitalitas atau kehidupan, yang terdiri dari nilai-nilai rasa kehidupan meliputi yang luhur, halus, atau lembut hingga yang kasat atau biasa, dan juga mencakup yang bagus yang berlawanan dengan yang jelek. Nilai Ketiga terdiri dari nilai-nilai spiritual, yang memiliki sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Nilai keempat adalah nilai kesucian dan keprofanan. Nilai ini hanya tampak pada kita dalam objek yang dituju sebagai objek absolut.

 Daftar Pustaka
  1. A. Sudiarja. Dkk. Karya Lengkap Diyarkarya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006.
  2. Hassan, Fuad, Stadium General, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, cet ke-3, 2001.
  3. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983.
  4. Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005.
  5. Nasution, Hasan Bakti, Falsafah Umum, Jakarta: Gaya Media Pertama, cet I, 2001.


[1] A. Sudiarja. Dkk. Karya Lengkap Diyarkarya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hal. 1341.
[2] A. Sudiarja. Dkk. Karya Lengkap Diyarkarya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006. Hal. 1343.

[3] Driyarkara, Esai-Esai Falsafah Pemikiran Yang Terlibat Penuh Dalam Perjuanga Bangsanya, Jakarta: PT Kompas, PT Gramedia, Kanisius dan Ordoserikat Jesus Provinsi Indonesia, 2006.

0 komentar:

Posting Komentar