Sabtu, 10 November 2012

Estetika Pada Masa Klasik


Estetika Pada Masa Klasik

Estetika baru muncul pada abad (18) kedelapan belas, dan sejarah yang mengenai hal-hal yang mengacu pada estetika adalah setua sejarah etika, logika, metafisika, dan epistemology. Filusuf Alexander Baumgarten-lah yang memperkenalkannya di tahun 1750, tapi perintis pertamanya adalah sokrates (469-344 SM).[1]

Estetika membahas tentang apa itu keindahan, menyelidiki prinsip-prinsip landasan seni, dan pengalaman seni, yakni penciptaan seni, penilaian atau refleksi atas karya seni.

pemikiran tokoh-tokoh estetika pada masa Yunani klasik, tokoh-tokoh yang di bahas adalah mulai dari Sokrates, Plato, dan Aristoteles.

Yang menarik dari tokoh-tokoh estetika ini adalah perbedaan sudut pandang dan perspektif yang mencolok dari setiap pemikir. Ada yang terfokus pada dunia Idea (Plato), dan ada yang terarah pada pengalaman dunia fisik (Aristoteles). 

Jika istilah estetika diartikan filsafat keindahan, maka sejarah estetika berarti sejarah filsafat keindahan. Kalau kita mencoba memberikan gambaran sejarah filsafat seni dengan perumpamaan pohon filsafat, sebagaimana dikerjakan oleh Descrates dalam bukunya Principia Philoshopine, maka kita harus menganggap filsafat Plato sebagai batang dari segala akar estetika. 

Ketiga orang besar diantara ahli filsafat yunani yang meletakan fondamen pertama tentang estetika yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah perintis, Aristoteles adalah penerus Plato yang terkenal dengan Dewa Estetika.

1. Estetika Sokrates
Fondamen Sokrates yang meletakkan batu pertama dari estetika (sebelum nama ini diberi nama). Dalam perdebatan antara sokrates dan Happias sokrates meminta ide keindahan “gagasan umum” yang menyebutkan semua barang indah menjadi indah, Sokrates tidak menanyakan apa yang bersifat indah.[2]

Happias menambahkan bahwa sendokpun bisa jadi indah, akan tetapi kita tidak dapat mengartikan sama cantiknya seperti benda dan gadis dara. Sokrates member bumbu kepada perkataan Happias: “memang Heraklatus pernah mengatakan bahwa kera yang tercantik, jika dibandingkan dengan orang maka ia masih jelek. Demikian juga dengan gadis cantik, bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan bidadari dari sorga, sebagaimana orang yang paling arif bijaksan 

apabila dibandingkan dengan Tuhan, tentu masih tanpak kera dalam segala hal. Akan tetapi kita kembali kepada: What the beautiful is.[3]

Walaupun catatan yang diberikan oleh sokrates tidak sistematis, estetika telah lahir ketika sokrates dapat menjawab pertanyaan Happias, dengan perkataan kecantikan bukanlah sifat tertentu dari seribu barang, tetapi dibelakang semua itu terdapat kecantikan itu tersendiri.


2. Estetika Plato
Plato adalah filusuf pertama didunia barat yang dalam seluruh karyanya mengemukakan pandangan yang meliputi hamper semua pokok semua estetika. Pembahasannya tidak utuh dan merupakan suatu system tersendiri, tetapi tersebar sebar dalam karyanya. Berikut ini kita mengumpulkan dan menyingkatkan pandangannya keindahan dan karya seni. 

a). Keindahan 

Plato berpendapat bahwa untuk mengetahui keindahan sesungguhnya, kita terlebih dahulu mengosongkan pikiran dan membersihkan diri dari segala kesalahan dan kekurangan. Kita harus membuang kesalahan dan dosa yang pernah terjadi dan mencoba kembali kedalam kesucian jiwa kita. 

Keindahan dapat dibagi menjadi dua yang pertama tentang dunia idea, dan kedua dunia yang nyata. Pandangan yang pertama, secara mengesankan dan dengan bahasa yang sangat indah, ia kemukakan dalam wawancara semposium sebagi pendirian Socrates. Socrates mengatakan bahwa ajaran itu diterima dari seorang dewata bernama Diotima yang berasal dari Mantineia (dalam terjemahan inggris nama dewata itu adalah “fear the lord from prophetveille”, sesuai dengan sindiran yang termuat dalam bahasa yunani). Menurut pandangan itu, yang indah adalah benda yang material, umpamanya tubuh manusia, yang tampak pada saya. Kalau selanjutnya saya melihat beberapa orang seperti itu, pengalaman akan keindahan meningkat. Lebih jauh lagi manusia merasa diajak untuk ingat pada yang lebih indah daripada tubuh, yaitu jiwa lama kelamaan, socrtaes mengajak pendengar untuk maju terus sampai pada idea yang indah. Itulah yang paling indah, sumber segala keindahan. Semua keindahan lain haknya ikut ambil pada yang indah dalam dunia idea itu, sama halnya seperti idea kebenaran, kebaikan, ataupun segitiga.[4]

Pandangan plato yang pertama didasarkan pada ajaran tentang idea ini, yakni “teori dua dunia”. Dua dunia tersebut adalah ‘dunia idea’ (dunia atas) dan “dunia sehari-hari” (dunia bawah). Menurut plato dunia bawah merupakan tiruan dari dunia atas. Dunia atas digambarkan sebagai dunia idea, yaitu: dunia kebenaran absolute, sejati, dunia rohani, pengetahuan sejati (episteme). Sedangkan dunia bawah adalah dunia yang relative, sehari-hari, fana, kebenaran relative, tiruan, dan hanya merupakan ‘pendapat’. Pandangan kedua, dikemukakan plato dalam salah satu dialognya yang terkenal, yakni phiilebus. Disini dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana. Yang dimaksud sederhana adalah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan yang lebih sederhana lagi. Pada pandangan pertama, yang indah itu dilepaskan dari pengalaman jasmani. Keindahan dalam pengertian hidup sehari-hari adalah tingkat dua saja. Keindahan sesungguhnya hanya ada di dunia idea, sedangkan pandanagn plato yang kedua, yang indah itu tidak dilepaskan dari pengalaman inderawi yang membangun pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari. 

Pandangan yang kedua ada dalam Philebus. Disana dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang paling sederhana, warna yang sederhana. Yang dimaksud dengan ‘sederhana’ ialah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang lebih sederhana lagi. Oleh karena itu keindahan bersifat terpilah-pilah baik dalam alam maupun dalam karya seni.[5]

Pandangan plato yang kedua ini mempunyai keistimewaan karena tidak melepaskan diri dari pengalaman inderawi yang merupakan unsure konstitutif dari pengalaman estetis dan keindahan dalam pengertian sehari-hari. 

Bagaimana hubungan antara dunia atas dan dunia bawah? Menurut plato, antara dunia atas dan bawah terdapat hubungan timbal balik. Hubungan tersebut dapat dijelaskan melalui tiga kata kunci: 

1). Paradigma: dunia atas menjadi contoh, prototype, pola, bagi dunia bawah. 

2). Hadir pada: dunia atas selalu hadir pada (presence) dunia bawah. 

3). Partisipasi: dunia bawah mengambil bagian (berpartisipasi) di dunia atas.[6]

b). Karya Seni. 

Plato menyatakan sikapnya terhadap karya seni, terutama dalam karyanya yang terbesar yaitu politea (republik). Dalam penilaiannya ada dua unsur: yang satu teoritis dan kedua praktis. 

Unsur teoritis menyatakan bahwa: segala kenyataan yang ada di dunia ini merupakan tiruan (mimesis) dari yang asli yang terdapat di dunia idea dan jauh lebih unggul daripada kenyataan di dunia ini. Karya seni merupakan tiruan dari (mimesis memeseos). Oleh karena itu plato menilai rendah karya seni. Tafsiran plato tentang karya seni sebgai tiruan dari kenyataan yang ada di dunia ini tidak hanya jauh dari pandanagn karya seni dewasa ini, tetapi sudah pada jaman plato dan dalam karyanya sendiri mengalami kesulitan, mungkin karya seni rupa dan sebagian karya sastra, bisa ditafsirkan sebagai tiruan dari kenyataan, tetapi karya seni music amat sulit di tafsirkan.[7]

Jadi menurut plato, karya seni adalah tiruan dari kenyataan yang ada di dunia ini (kecuali music), jadi jauh dari kebenaran sejati. Itulah sebabnya kemapa ia menyebut karya seni sebagai tiruan dari (mimesis memeseos). Plato memiliki dua kebertan terhadap karya seni. Pertama, karena karya seni menirukan sesuatu di dunia ini, yang sebenarnya sudah merupakan tiruan dari dunia idea. Jadi, karya seni adalah tiruan dari tiruan artinya tiruan dua tingkat. Itulah sebabnya mengapa menurut Plato, seni tidak baik untuk dijadikan sebagai sumber pengetahuan. 

Bagi plato, hanya filsafatlah yang pantas menjadi sumber pengetahuan, kebijakan dan moral. 

Keberatan plato terhadap seni terkait dengan pengaruh buruk seni terhadap masarakat. Seni memberi pengaruh bagi penonton dan masarakat. Mengapa? Karena, hakikat seni bersifat emosional. Plato menantang karya sastra dan drama, karena dalam drama banyak terdapat adegan adegan yang kurang baik dipertontonkan dan akan menjauhkan warga Negara dari tugasnya membangun Negara. Baginya, pusi itu prosesnya irasional dan kurang control terhadap akal, sehingga akan member pengaruh buruk pada penontonnya.[8]


3. Estetika Aristoteles 

Sebagai murid plato, Aristoteles mengemukakan beberapa pandangan yang mirip dengan ajaran sang guru, tetapi sudut pandangnya berbeda. Mengapa? Karena Aristoteles menolak dunia idea Plato sebagai sumber pengetahuan. Sumbangan utama Aristoteles bagi estetika diuraikan dalam buku Poetika (poetics). 

a). Keindahan 

Pandangan Aristoteles tentang keindahan agak dekat dengan pandangan kedua dari plato: keindahan menyangkut keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pandangan ini, menurut Aristoteles menyangkut benda-benda alam maupun untuk karya seni buatan manusia.[9]

b). Karya Seni. 

Pandangan Aristoteles tentang ini mirip dengan Plato: karya seni adalah sebuah tiruan (imitasi), yakni tiruan dari dunia alamiah dan dunia manusia. Bagi Aristoteles, seni tidak hanya tiruan dari benda yang ada dari alam, tetapi lebih sebagai tieuan dari sesuatu yang universal. Aristoteles tidak setuju dengan penilaian negative Plato atas karya seni, karena dia berpendapat bahwa bentuk-bentuk (form) tidak terpisah dari dunia inderawi, karenanya dia tidak memiliki keberatan terhadap dunia inderawi dan seni yang meniru dunia inderawi. Maksud ini sudah jelas, karena pertam-tama minat aristoteles bukan seni rupa melainkan seni drama dan musik.[10]

Aristoteles cukup panjang lebar memeriksa dan memerinci segala syarat yang harus dipenuhi agar suatu tragedi menjadi karya seni yang sempurna. Yang sangat diperhatikan adalah pandangan pokok Aristoteles yang mendasari syarat-syarat itu, yaitu pandangannya tentang “khatarsis” artinya pemurnian, yang diasalkan dari kata “khatarus” artinya murni atau bersih. Menurut Aristoteles, khatarsis adalah puncak dan tujuan karya seni drama dalam bentuk tragedi. Segala peristiwa, pertemuan, wawancara, keberhasilan, dan kegagalan serta kekecewaan harus di susun dan dipentaskan sedemikian rupa sehingga pada suatu saat secara serentak semuanya tampak logis, tetapi juga seolah-olah tak terduga. Pada saat itulah khatarsis terjadi secara tiba-tiba: seakan-akan segala masalah dan kejadian yang muncul bertimbun dalam peran-peran utama dan dalam diri penonton tiba-tiba pecah atau mencair, tak jarang in terjadi secara mengharukan.[11]

Teori khatarsis Aristoteles ini sangat berpengaruh dalam filsafat seni, terutama dalam teori drama. Biasanya khatarsis diharapkan terjadi pada diri penonton dan kemudian dibawanya pulang sebagai pemahaman yang lebih mendalam tentang manusia, sebagai pembebasan batin sebagai pengalaman penderitaan. Dengan demikian, khatarsis ini memiliki makna “terapeutik”, bahkan sering sekali terdapat unsure penyesalan dan perubahan, semacam pencerahan atau pertobatan dalam pengalaman religius.[12]

Kesimpulan 

Keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi. Pandangan ini Nampak dalam pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Keindahan itu sendiri di anggap ada di luar dan subyek, biasanya dengan penekanan bahwa keindahan itu ada di “seberang’. 

Perhatian akan apa yang secara empiris terjadi didalam diri si subyek termuat dalam pandangan Aristoteles, yang kedua-duanya menyajikan penyelidikan terhadap pengalaman manusia secara aposteriori-empiris. 

Daftar Pustaka 
Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-persoalan Dasar Estetika, Jakarta:Salemba Humanika, 2010. 
Kartika, Dharsono Sony, Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika, Bandung: Rekayasa Sains, 2004. 
Ali Mathius. Estetika Pengantar Filasafat Seni. Jakarta: Sanggar Luxsor, 2011 
Mudji Sutrisno dan Chris Verhak. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius, 1993. 
___________________
[1] Eaton, Marcia Muelder, Persoalan-persoalan Dasar Estetika, (Jakarta: Salemba Humanika, 2010). hlm. 5 
[2] Kartika, Dharsono Sony, Nanang Ganda Prawira, Pengantar Estetika, (Bandung: Rekayasa Sains, 2004). hlm. 49 
[3] Ibid., hlm. 50 
[4] Mudji Sutrisno dan Chris Verhak. Estetika Filsafat Keindahan. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hal. 26 
[5] Mudji Sutrisno dan Chris Verhak. Estetika Filsafat Keindahan. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hal. 26 
[6] Mathius Ali.. Estetika Pengantar Filasafat Seni. ( Jakarta: Sanggar Luxsor, 2011). Hal. 15 
[7] Mudji Sutrisno dan Chris Verhak. Estetika Filsafat Keindahan. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hal. 27 
[8] Mathius Ali.. Estetika Pengantar Filasafat Seni. ( Jakarta: Sanggar Luxsor, 2011). Hal. 16 
[9] Mudji Sutrisno dan Chris Verhak. Estetika Filsafat Keindahan. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hal. 28 
[10] Mathius Ali.. Estetika Pengantar Filasafat Seni. ( Jakarta: Sanggar Luxsor, 2011). Hal. 24 
[11] Mudji Sutrisno dan Chris Verhak. Estetika Filsafat Keindahan. (Yogyakarta: Kanisius, 1993). Hal. 29 
[12]Mathius Ali.. Estetika Pengantar Filasafat Seni. ( Jakarta: Sanggar Luxsor, 2011). Hal. 27

0 komentar:

Posting Komentar