Sabtu, 10 November 2012

Rasionalisme Kritis Karl R. Popper


Pada pertemuan kali ini kita akan membahas:
Karl Raimund Popper,
dia berpendapat bahwa, sebenarnya sebesar apapun fakta yang ditemukan/tersedia secara logis tidak dapat disimpulkan suatu kebenaran umumnya. Contoh : Angsa warnanya putih.

Yang terpenting dari poin tesebut adalah untuk kemajuan Ilmu Pengetahuan, perlu kritik. Meski baru hipotesa (ada kemungkinan angsa warna lain). maka jangan bernalar induktif yang menganggap sama sesuatu, yang masih ada kemungkinan beda. Selamat menyimak…!!!

Riwayat Hidup
Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.

Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana.

Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.[1]

Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yangcrucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.

Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.[2]

Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.

Dasar-dasar Pemikiran Popper
1. Asas Falsifiabilitas
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.

Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.

Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.

2. Kritik Popper terhadap Positivisme Logis
Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, Austria dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak.

Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan.[3]

Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan yang bisa di kritisi dan bahkan disalahkan.

Penutup
Bagi Popper, ilmu dan filsafat menjadi menarik karena ia ingin mempelajari sesuatu tentang teka-teki dunia tempat kita hidup, dan teka-teki pengetahuan manusia mengenai dunia itu. Dia percaya bahwa hanya dengan penghidupan kembali minat pada teka-teki inilah yang dapat menyelamatkan ilmu-ilmu dan filsafat dari spesialisasi sempit dan dari keyakinan serta pada keahlian khusus sang pakar dalam pengetahuan dan otoritas pribadinya.

Daftar Pustaka
Karl R. Popper. Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto Jakarta: LP3ES, 1985
Taryadi, Alfons. Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper. Jakarta: Gramedia. 1991
http:// staff.blog.ui.edu/ arif51/ 2008/03 /31/ karl-raimund-popper/.
_____________

[1] http:// staff.blog.ui.edu/ arif51/ 2008/03 /31/ karl-raimund-popper/.
[2] Karl R. Popper. Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985).
[3] Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 18.

0 komentar:

Posting Komentar