Sabtu, 10 November 2012

Filsafat Islam Nashr al Din al Thusi

Bahwa Nashr al Din al Thusi (597-672 H/1201-1274 M), hidup pada masa yang hampir bersama’an dengan St. Albertus Magnus dan St. Tomas Aquinas dan sama-sama mempunyai perhatian teologis dan filosofis yang besar. Ia mengabdi di istana penakluk dunia, menyaksikan kehancuran baghdad dan keruntuhan kekhalifahan Abasiyah. Kemudian Nashr al Din al Thusi, baru berusia tiga tahun ketika filosof yahudi terkenal moses Maimonides (1135-1204 M.) meninggal di kairo. Kempat filosof mengganbarkan puncak kegiatan filosofis yang terdapat dalam tiga agama dari rumpun ibrohimiyah masa itu. Warisan filsafat yunani, khususnya Aristoteles memenuhi benak mereka dengan intensitas hampir sama dengan perjanjian lama dan baru serta al-Qur’an. Dibawah ini akan kami jelaskan sedikit tentang siapa Nashr al Din al Thusi, pembahasan etika dan teologi filsafatnya.[1] Selamat menyimak…!!! 


Sejarah Hidup Nashr al Din al Thusi 
Nashr al Din al Thusi lahir di Thus pada sabtu dini hari 11 Jumadil ula 597 H/16 Februari 1201 M, pada abad ke-13. Asal usul keluarganya dapat diruntut kebelakang pada Jahrut dari Sa’wah, namun pada sa’at ia dilahirkan keluargannya menetap di Thus. Ia menerima pendikikan awalnya di thus dibawah asuhan ayahnya sendiri yaitu Muhamad Ibnu Alhasan, seorang fakih syi’ah yang terkenal. Topik-topik pendidikannya antara lain bahasa dan tata bahasa Arab, studi-studi al-Qur’an dan hadis, disamping fikih syi’ah, hukum, logika, ilmu-ilmu alam dan metafisika dan juga matematika.

Pada masa mudanya, Nashr al Din al Thusi meninggalkan Thus menuju Naisyafur guna menambah lagi ilmunya, yang bersetatus sebagai pusat intlektual dunia Islam bagian timur. Diantara sarjana-sarjana yang pernah menjadi guru adalah farid al-Din Damad Nisyapuri. Yang merupakan penerus Ibnu Sina, sehingga Nashr al Din al Thusi bertalian langsung dengan guru filsafat Peripatetik dengan mengkaji karya Ibnu Sina yaitu al-Isyarat wa al-Tanbihat. Ia belajar matematika kepada Kamal Ibnu al-Din Ibn Yunus al-Nisyri dan mempelajari beragam subjek kepada sejumlah sarjana terkemuka lainnya. Serbuan Mongol atas Khurasan pada awal abad ketuju terjadi pada sa’at Nashr al Din al Thusi menyelsaikan pendikikannya di Nisyapur, yang menjadi tempat yang kian rawan ditempati. Ketika seorang pangeran Ismail yaitu Nashir al Din Abd al Rohim Ibn Ibnu Mansur, mengundang Nashr al Din al Thusi untuk bergabu ng dengannya di istananya, ia segera menerima dan menemukan tempat perlindungan dikaum ismailiyah pada periode ini ia mengembangkan dan menterjamahkan kitab al-Tharah Abu Ali Miskawaih al Razi menjadi akhlak an-Nashiri atas nama penguasa dan pelindungnya. Ketika Nashr al Din al Thusi berada Di Quhistan, Hulagu, panglima perang Mongol diutus oleh saudaranya Mangu khan, penerus Jengis Khan untuk memerangi kaum Isma’iliyah. Pada tahun1255 M, Hulagu menyerbu Persia pada tahun 1256 M, ia mengalahkan penguasa Isma’ili Rukhn al-Din khursiyah, dan menduduki benteng Alamud, yang didalami ada Nashr al Din al Thusi, singkatnya menjadi seorang tawanan. Peran Nashr al Din al Thusi yang menyebabkan penguasa Ismaili menyerah secara damai kepada Hulagu, menjadikannya sangat berharga bagi panglima perang Mongol itu.[2]

Di masa itu juga ia belajar matematika dan astronomi kepada Kamal al-Din Yunus (wafat 639H/1242M). Kemudian ia berkorespondensi dengan al-Qaysari, menantu dari Ibn al-‘Arabi, dan kelihatannya ajaran mistis yang disebarkan oleh para master sufi di masanya tidak dapat diterima akalnya dan dalam suatu kesempatan yang tepat, ia menyusun manual sendiri tentang filsafat sufisme dalam bentuk booklet (buku kecil) berjudul “Awsaf al-Ashraf: The Attributes of the Illustrious/Noble”.

Perkembangan intelektual Tusi tidak dapat dipisahkan dari drama perjalanan hidupnya dan dari bencana invasi Mongol ke wilayah Timur Islam. 

Setelah itu, Nashr al Din al Thusi mengabdi kepada panglima perang Mongol yang agung itu. Pada tahun 1257 M. Hulagu mendekati Bagdad, diantara pengiring anggota utamanya adalah Nashr al Din al Thusi yang terlibat aktif dalam panjang insiden dan perundingan Halagu dan kholifah al-Mustashim.pada suatu kesempatan Hulagu mengutus Nashr al Din al Thusi bernegosiasi mewakilinya dengan kholifah Abasiyah. Ketika Hulagu menyerang Bagdad, ia menempatkan Nashr al Din al Thusi dipintu gerbang kota guna melindungi rakyat tak berdosa. Cukup merawankan kekuasaan al-Mustashim yang memang sudah lemah. Pada suatu kesempatan selama pengepungan Bagdad ia mengutus Nashr al Din al Thusi agar memengaruhi kholifah supaya bersedia menyerah, al-Mustashim mula-mula menolak, tetapi akhirnya pada tahun 1258 M. ia beserta keluarganya bertakluk kepada Hulagu. Kemudian kholifah dibunuh sepuluh hari kemudian dengan cara oleh beberapa sumber juga dihubung-hubungkan oleh Nashr al Din al Thusi, padahal yang membunuh adalah seorang astrolog saingannya yaitu Hisyam al Dhin al Munajim. Kemudian sejumlah anggota keluarga kholifah, seperti putra bungsu, Mubarak-Syah, diselamatkan oleh istri Hulagu, yaitu Uljai-Khatun.

Nashr al Din al Thusi bertolak ke Hilah pusat pendidikan penting di Irak, tempat ia mengunjungi Muhaqiq Hili, seorang fakih Syi’ah terkemuka, dan terlibat dalam perbincangan fikih dengannya melalui Muhaqiqi Hili inilah berjumpa dengan para teolog. Sekembalinya ke Maraghah, mengikuti perintah Hulagu ia mengawasi pembangunan observatorium terkenal. Hulagu meninggal sebelum Nashr al Din al Thusi menyelesaikan seluruh siklus pengamatannya. Ia menjadi wazir untuk putra Hulagu yaitu Abaqa Khan.

Sepanjang kehidupannya, al-Tusi merupakan penulis yang produktif dalam bidang matematika dan ilmu alam. Ia membawa kemajuan di bidang matematika trigonometri dan astronomi. Hasil dari upaya kerasnya di bidang intelektual ini menunjukkan hasil dengan didirikannya observatorium di Maraghah. Hasil dari observasi dan perhitungan astronomis menghasilkan tabel yang terkenal yang dinamakan Zij-e Ilkhani (Dalam bahasa Persia, tapi juga diterjemahkan dalam bahasa Arab). Sebelum Maraghah, ilmu rasional telah diperoleh segelintir orang dengan atau tanpa perlindungan pribadi, sekolah-sekolah Islam mencurahkan hampir seluruh perhatiannya kepada hukum dan melepaskan diri dari aktivitas filsafat. Lingkungan obsevatorium dan pelembagaan ilmu rasional menciptakan kebutuhan akan materi pengajaran, dan al-Tusi sendiri menjadi penulis dari resensi (tahrir) teks ilmiah seperti halnya ringkasan dari teks teologi, logika dan filsafat, jelas dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran. Pengaruh al-Tusi yang terus bertahan dapat dilihat dari aktivitasnya yang berkelanjutan dalam ilmu rasional Islam Timur, seperti halnya dalam penyerapan yang terjadi secara bertahap ke dalam pendidikan religius, yang mana pada gilirannya mempengaruhi perkembangan teologi, secara khusus di antara para sarjana Si’ah.[3]

Pada tahun 1257 M. Nashr al Din al Thusi melakukan perjalanan ke Khurasan. Dalam perjalanan ini, bergabung pula seorang filosof terkemuka lainnya, Quthb al din al Sairozi. Berita terakhir tentang Nashr al Din al Thusi adalah mengenai ekspedisi perburuan Abaqa Khan. Setelah penobatan keduanya pada tahun 1270 M, Abaqa Khan terluka oleh seekor bison dalam suatu perburuan. Dibawah pengawasan Nashr al Din al Thusi, seorang dokter melakukan pembedahan atas Abaqa khan ini. Didalam perjalanan resmi terakhirnya ke Bagdad pada tahun 1273 M, Nashr al Din al Thusi jatuh sakit, kemudian pemimpin Mongol itu bersama Quthb al din al Sairozi mengunjunginya. Filosof tersebut meninggal karena sakit pada hari senin 18 Dzulhijah 672 H/25 Juni 1274 M. Kemudian dimakamkan didekat Musa al Khazhim, imam Syi’ah ketujuh.[4]

Beberapa karya tulis yang disebutkan dalam wikipedia antara lain: 
1. Tajrid-al-’Aqaid – Karya utama dalam ilmu Kalam (Filsafat Islam skolastik). 
2. Al-Tadhkirah fi’ilm al-hay’ah – Sebuah memoar di bidang Ilmu Astronomi. 
Banyak komentar yang ditulis tentang karya ini dalam “Sharh al-Tadhkirah” (Komentar terhadap al-Tadhkirah) – Komentar ditulis oleh Abd al-Ali ibn Muhammad ibn al-Husayn al-Birjandi dan oleh Nazzam Nishapuri. 
3. Akhlaq-i-Nasiri – Karya di bidang etika. 
4. al-Risalah al-Asturlabiyah – Risalah tentang astrolabe. 
5. Zij-i ilkhani (Ilkhanic Tables) – Risalah astronomi yang utama, disempurnakan 
pada 1272 M. 
6. Sharh al-isharat (Komentar terhadap “Isharat” karya Avicenna)[5]

Etika 
Mengenai bidang etika ada beberapa karya besar Nashir ad-Din al-Tusi, yaitu Akhlaqi Muhtashami (Muhtashamean Ethics) dan Akhlaqi Nasiri (The Nasirean Ethics), keduanya ditulis dalam bahasa Persia. Kitab yang pertama diangkat dari aturan Isma’ili (Muhtasham) dari Quhistan. Nasir al-Din ‘Abd al-Rahman yang mempersiapkan garis besar dan menyetujui isi tetapi meminta al-Tusi mengerjakan pekerjaan utamanya karena tuntutan pekerjaannya di bidang politik. Kemudian karya selanjutnya adalah Kitab ‘Adab al-Muta’allimin, menurut al-Tusi, karya ini sangat perlu, karena banyak orang mendapat kesulitan dalam menuntut ilmu disebabkan kurang paham etika dan metode yang benar. Padahal bagi at-Tusi etika adalah prasyarat keberhasilan dalam menuntut ilmu. Karya lainnya di bidang etika sedikitnya ada empat risalah utama yang ditulis al-Tusi, dan kesemuanya menggambarkan karakter Ismailiyah.[6]

Dalam etikanya, at-Tusi mengatakan bahwa moral atau etika itu bertujuan mendapatkan kebahagiaan, dan hal itu ditentukan oleh tempat dan kedudukan manusia dalam evolusi kosmiknya serta diwujudkan lewat kesediannya pada disiplin dan patuh. Jadi, seorang bisa dikatakan beretika bila ia siap disiplin dan komitmen pada peraturan yang berlaku. Selain daripada itu beliau pula mengemukakan hal yang menyangkut penyakit moral seperti kebodohan, kejahatan, kemarahan, kepengecutan dan ketakutan yang semuanya berasal dari tiga: kekurangan, kelebihan dan ketidakwajaran akal. 

Menurut at-Tusi, kebodohan adalah penyakit moral yang fatal, beliau membagi kebodohan tersebut ke dalam tiga tingkatan. Pertama, kebingungan. Kebingungan disebabkan jika untuk membedakan antara kebenaran dan kesalahan karena adanya dua bukti dan dua argumen yang saling bertentangan, dalam hal ini at-Tusi menyarankan agar orang yang bingung itu disadarkan bahwa tidak ada dua realitas yang berlawanan terjadi pada satu kesempatan. Kedua, kebodohan sederhana. Jahal basit ini terjadi karena kekurangtahuan manusia akan sesuatu hal, mengira bahwa ia mengetahui, kebodohan ini merupakan suatu keadaan yang biasa dijadikan titik tolak untuk mencari pengetahuan, tetapi sangatlah fatal bila manusia merasa puas dengan keadaan begitu. Ketiga, jahal murakkab; kebodohan ini akibat kekurangtahuan manusia akan satu hal akan tetapi dia merasa bahwa dirinya mengetahui hal tersebut. 

Mengenai kemarahan, at-Tusi menganggap bahwa kemarahan, kepengecutan dan ketakutan adalah penyakit yang menonjol dari segi berlebihan. Begitu pula keberlebihan nafsu disebabkan oleh keberlebihan hasrat, sedangkan sifat sembrono merupakan akibat kekurangan, dan kesedihan serta cemburu itu merupakan ketidakwajaran kekuatan. Thusi telah mendefinisikan cemburu sebagai keinginan akan kebalikan nasib baik orang lain tanpa ingin memiliki nasib baik tersebut pada dirinya. Hal itu mengikuti definisi yang dilontarkan al-Ghazali yang membedakan antara cemburu dengan iri. Thusi menganggap masyarakat sebagai latar belakang moral dari kehidupan, sebab manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial dan kesempurnaannya terletak pada tindak-tanduk dan patuh yang menunjukkan sifat sosial pada sesamanya.[7]

al-Tusi menggolongkan etika menjadi dua bagian: “prinsip-prinsip” dan “tujuan-tujuan” bagian pertama dibagi menjadi tujuh bab. Subjek etika adalah jiwa manusia karena ia merupakan sumber perbuatan baik dan jahat. “jiwa manusia adalah substansi abstrak dari esensi yang melahirkan konsepsi tentang ma’qulat (intelligibles). Ia memberikan argument cermat untuk membuktikan eksistensi jiwa, substansialitas, ia bukan raga atau bersifat fisik. Jiwa memahami melalui esensinya dan bertindak melalui alat-alatnya, dan ahirnya jiwa tidak saja di cerap melalui persepsi indrawi mana pun. Jiwa manusia yang disebut “jiwa rasional” tetap hidup meskipun raga sudah mati. Sesungguhnya raga adalah alat bagi jiwa dan bukan tempat atau ruang jiwa yang dipahami sebagian orang.
Jiwa terbagi menjadi tiga: tumbuhan, hewan, dan manusia, yang masing-masing mempunyai daya. Hanya manusialah yang mempunyai daya rasional. Manusia adalah mahluk yang paling mulia, tahap tertinggi dari keseluruhan tahap perjalanan jiwa dari jiwa tumbuhan dan hewan. Nabi dan wali adala manusia yang paling mulia. Manusia secara potensial bisa mencapai kesempurnaan atau jatuh dalam kehinaan. Ada dua jenis kesempurnaan, dari segi pengetahuan maupun perbuatan. Tujuan akhir pengetahuan adal kedamain dan kepastian dalam “tauhid’. Tujuan puncak perbuatan manusia adalah mencapai keselarasan dan keseimbangan dalam urusan individu dan komunal., kesempurnaan dalama pengetahuan dan perbuatan secara dialektis saling terkait dan bergantung satu sama lain. Setelah menguasai dua sisi ini, manuisa menjadi khalifah (wakil tuhan yang sebenarnya diatas bumi). al-Tusi melancarkan seranag sengit atas orang-orang yang tujuan hidupnya adalah untuk mengejar kenikmatan material, dengan memfungsiakn daya berfikir dan akal untuk memfasilitasi kenikmatan fisik itu. Mereka menundukan jiwa yang luhur. 

Namun, dari sudut pandang lain, jiwa dibagi menjadi tiga: “jiwa binatang” yang merupakaan jiwa terendah., “jiwa biadab” yang merupakan maqam, “jiwa malaikat” yang merupakan jiwa terluhur. Jiwa ini terdapat pada diri manusia secara serentak. al-Tusi menyinggung tiga jiwa ini sesuai tiga istilah dalam al-Qur’an. Pertama sesuai dengan Nafsu amarah atau jiwa syahwat, kedua sesuai dengan nafsu lawwamah atau jiwa yang pencela, dan ketiga sesuai denag nafsu muthmainnah atau jiwa yang tenang. 
“jiwa syahwat mendorong dan mendesak pada pemenuhan keinginan, jiwa pencela, setelah menyembunyikan sesuatu yang tak terelakan sebagai kekuranagn manusia, mencela melalui omelan dan teguran, perbuatan itu sebagai sesuatu yang tak bernilai dimata kebijaksanaan, dan mengenai jiwa yang tenang, ia tidak menghasilkan apa-apa, kecuali amalan yang elok dan perbuatan yang baik.[8]

Risalah tentang etika ini, al-Tusi membahas ‘tujuan-tujuan” cabang filsafat ini. Ia percaya bahwa akhlak “individu” dapat diubah, bahwa manusia melalui pendidikan dapat berubah. Namun, tindakan untuk mengubah akhlak seseorang adalah suatu seni, dan dalam pengertian itulah ia merupakan seni paling mulia. Pada dasarnya ada tiga jenis kebajikan yang dapat dicapai manusia, yang masing-masing berhubungan dengan satu dan tiga jiwa manuisa diatas.[9]

Metafiska 
Pada karangan Nashr al Din al Thusi yakni akhlaqi Nashiri adalah pembahasan standar mengenai pembagian filsafat yang semula diadopsi para filosof muslim dari Aristoteles. Hikmah atau filsafat adalah mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dan bertindak sebagaimana mestinya. Sedangkan tujuan filsafat adalah membantu seseorang me capai ideal-ideal tertinggi manusia. Oleh karena itu filsafat dibagi menjadi dua bagian: pengetahuan dan tindakan. Pengetahuan adalah kemampuan untuk memahami (thasawur) sesuatu sebagaimana adanya dan kemudian membenarkan (thasdiq) sesuai dengan prinsip-prinsip keberadaannya. Tindakan adalah perwujudan gerak dan penguasaan ilmu sehingga yang potensial menjadi actual. Nashr al Din al Thusi menempatkan penguasaan pengetahuan teoritis maupun praktis pada kemampuan fisik manusia. Siapa saja yang mencapai kesempurnaan dalam pengetahuan dan perbuatan, maka ia akan mencapai karakter yang mulia.[10]

Karena objek filsafat terdiri dari pengetahuan mengenai segala sesuatu yang ada, ia dibagi menjadi dua kategori yang didasarkan pada sifat dasar sesuatu sebagaimana adanya. Hal-hal yang mewujudkan terdiri dari dua jenis: pertama, hal-hal yang tereksistensinya tidak bergantung pada tindakan kita, dan dua, hak-hal yang eksistensinya bergantung pada tindakan kita. Filsafat teoritis menjadikan kategori maujud yang pertama sebagai objeknya dan filsafat praktis menjadikan kategori maujaud yang kedua sebagai objeknya.
Selanjutnya, filsafat teoritis menjadi dua kategori: pertama, pengetahuan tentang eksistensinya dan konsepsi tentangnya tak terkait dan tak tergantung pada materi, kedua, mengetahuai yang sesuatu eksistensinya bergantung pada materi. Kategori yang terahir ini dibagi menjadi dua bagian: pertama mengetahui tentang sesuatu yang kebergantungannya pada materi tidak bersifatesensial bagi konsepsinya dan, kedua, mengetahui tentang sesuatu kebergantungannya pada materi bersifat esensial. Akibatnya, sifat teoritis dibagi menjadi tiga kategori: Metafisika, matematika dan ilmu-ilmu alam. Pada gilirannya, tiap kategori ini dibagi menjadi beberapa bagian pokok dan cabang.
Kategori pertama bersifat teoritis, metafisika, terdiri dari: pertama, mengetahu tentang tuhan yang maha kuasa dan mengetahui tentang wujud-wujudnya yang karena kedekatannya dengan hadiratnya yang menyebabkan wujud lain menjadi ada, seperti intelek dan akal, jiwa-jiwa dan prinsip-prinsip yang mengatur perbuatan mereka. Pengetahuan ini disebut teologi. Kedua, pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum yang mengatur wujud-wujud yang ada sebagiaman adanya, seperti keesaan, kemajemukan, keniscayaan, kemungkinan, ketertiban, keazalian dan sebagainya.pengetahuan ini disebut filsafat pertama.[11]

Ontologi Nashr al Din al Thusi termasuk dalam tradisi Ibnu Sina klasik. ‘Wujud’ itu sangat universal sehingga tidak butuh pembuktian. Setiap ‘wujud’ boleh jadi ’niscaya’ (wajib) atau ‘mungkin’. Jika suatu wujud itu ‘niscaya’, ia tak mungkin (mustahil) tidak ada. Wujud yang keberadaannya ’niscaya’, disebut wujud niscaya (wajib al wujud) apabila suatu wujud itu ‘mungkin’ atau ‘bergantung’ agar ia menjadi ada (atau mengada), maka ia harus didasarkan atas tau bergantung pada sesuatu yang lain, dan ‘ Sesutu yang lain’ itu pada gilirannya bisa jadi ‘ wujud niscaya atau ‘ wujud mungkin’ laninnya. Jadi teologi Nashr al Din al Thusi berasal dari ontologinya seperti halnya ontologinya Ibnu Sina: mustahil wujud-wujud duniawiyah menjadi ‘wujud niscaya’, karena wujud wujud itu bisa jadi ‘aksiden-aksiden’ atau ‘subtansi-substansi’, pada hakikatnya ‘aksiden-aksiden ‘ iti bergantung pada Sesuatu bergantung pada yang lain, yaitu substansi, dan subtansi itu mungkin bersifat jasmaniyah, dan karena itu tersusun dapat rusak, atau mungkin bebas dari materi atau abstrak, dan siapa pun yang percaya pada hal-hal non-material, baik secara intlektual maupun secara sepiritual maka tak sulit baginya pada wujud wujud non-material seperti ‘wujud niscaya’.

Ketahuilah bahwa orang orang berilmu berbeda pendapat tentang apakah non wujud itu Sesutu ataukah bukan sesuatu. Non-wujud yang mereka maksudkan adalah wujud-mungkin (jaiz al wujud). Kaum Nafiyan berpendapat non-wujud itu bukan sesuatu. mereka tidak membedakan Jaiz al Wujud dengan mustahil al wujud. mereka menganggap kedua kedua nya sebagai non-wujud. Kedua kelompok itu tidak sependapat dalam hal-hal lainnya: kaum musbitan percaya suatu sifat yang bukan wujud dan bukan pula non-wujud. Kaum musbitan memandang non-wujud dalam setatus ketakwujudannya disifati oleh suatu sifat. Dilain pihak, kaum nafiyan menganggap segala sesuatu sebagai esensi (dzat-nya), mereka tidak membedakan antara subut dan wujud. Jadi kaum musbitan menganggap semua esensi-baik substansi maupun eksiden-itu ada secara azali, yang disifati dengan sifat-sifat jenus, misalnya substansi dengan watak substansinya, hitam dengan warna hitamnya, walaupun belum maujud. Kaum musbitan menganggap bahwa wujud adalah suatu disposisi/tempelan, maksudnya, ia bukan wujud dan bukan maujud. Jadi, sang pelaku, yang maha besar dan maha kuasalah yang ada, yang menyifati esensi-esensi dengan wujud, dan itulah makna menjadikan-ada dan menjadikan-mengada. Bagi kaum nafiyan, tidak ada yang tetap secara azali, kecuali tuhan. Dia menciptakan semua esensi dan sifat, dan bahwa makna menjadikan-substansi-ada adalah menyebabkan substansi menjadi ada setelah sebelumnya tidak ada. [12]

Nashr al Din al Thusi diriwayat pada keniscayaan pembuktian (dalil) rasional mengenai eksistensi Tuhan untuk setiap orang beriman, sampai ia berjumpa seorang petani bersahaja. ‘apakah tuhan itu satu atau dua?’. ‘hanya satu,’ jawab petani’. ‘apa sikap anda jika seseorang berkata kepada anda jika tuhan itu dua ?’. ‘akan aku pecahkan kepalanya dengan sekop ditangan ku ini,’ jawab petani. 

Asal muasal pertama adalah sesuatu yang tidak ada yang mendahuluinya dan tidak mempunyai asal. Asal muasal pertama mystahil lebih dari satu karena segala yang bukan satu berarti banyak, dan segala yang banyak tentu terdiri dari unit-unit individual, dan tiap tiap satu dari unit-unit itu tentu mendahului wujud yang tersusun itu sehingga ia menjadi asal bagi wujud tersusun itu. Jadi, asal muasal pertama itu satu dan bukan banyak. Oleh karena itu dari perluasan dan pengembangan ontologi Nashr al Din al Thusi ke teologinya disimpulkan bahwa niscaya dan wajib bagi asal muasal pertama itu sebagai ’wujud niscaya’ (wajib al wujud). Ketika sesuatu itu ada, maka niscaya bagi mereka ada dalam wujud. 

Apabila mereka tidak ada dalam wujud, segala sesuatu akan selalu ada dalam keadaan kebergantungan atau kemungkinan, artinya membutuhkan asal muasal. Dalam rentetan sebab-akibat ini guna menghindari terjadinya lingkaran setan, maka dibutuhkan satu realitas yang menjadi sebab bagi semua akibat yang ada sebelum semua akibat ada asal pertamalah yang tidak mempunyai asal. Semua yang ada muncul dari asal muasal tersebut. Akhirnya Nashr al Din al Thusi menyimpulkan bahwa inilah yang kami maksudkan dengan upaya membuktikan ’ satu yang hakiki’ yang merupakan asal muasal pertama bagi semua yang ada, yang maha agung wujudnya dan maha suci dzat dan sifatnya. [13]

Pada sebuah Risalahnya Nashr al Din al Thusi tentang dogma-dogma keyakinan utama Syi’ah rangkuman ringkas tentang apa yang harus dipegang dengan pasti oleh jkaum mukmin menurut filosof syi’ah itu, seorang mukmi syi’ah paling tidak harus menjungjung tinggi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulnya, menerima sifat-sifat Tuhan yang maha kuasa dan harus percaya pada hari akhir, dan percaya pada imam yang maksum. 

Kesimpulan 
Tidak mungkin disini kita melebih-lebihkan pada Nashr al Din al Thusi dan filsafat islam abad pertengahan. Bahkan, seandainya ia tidak mendirikan observatorium maraghah sebagai lembaga pendidikan tinggi yang penting sehingga dapat mengumpulkan sehimpunan besar filosof dan ilmuan terkemuka. Atau seandainya dia tidak mengabdi kepada penguasa filosof dari wazir dan memanfaatkan jabatan itu untuk mengembangkan dasar-dasar ilmu dan fisafat ditengah lingkungan yang tidak kondusif, dan kalaupun dia tidak menulis begitu banyak karya dalam bahasa Persia sehingga memberikan kontribiusi penting dalam menjadaikan bahasa ini sebagai medium terpenting. Kedua dalam penyelidikan ilmiah dan filosof dalam sejarah intelektual islam.

Diskursus filosof/wazir itu memberikan etika unik yang menuntut ketaatan, baik dari figure otoritas politik maupun religious. Kepada sang penglima perang, filosof atau wazir ini berbicara dari sudut pandang filosof muslim kepada otoritas religious, tempatnya ‘ulama, filosof ini berbicara dengan nada dan otoritas penguasa, intelek politik yang sanagt dekat dengan pusat kekerasan/kekejaman, panglima perang yang tangkas dengan tangannya memainkan pedang, filosof/wazir, denag Nashr al Din al Thusi sebagi contoh pertamanya, menduduki posisi sentral dalam (1) perintah ketaatan dalam budaya poitik islam Persia, (2) sanagat berperan dalam menciptakan prasyarat material bagi pertumbuhan dan perkembangan filsafat.[14]

Demikian uraian singkat tentang Nashr al-Din al-Thusi, semoga bermanfaat…Amiin. 

Daftar Pustaka 
Jamil Ahmad. 100 Muslim Terkemuka, terjemahan dari “Hundred Hreat Muslim” Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994 
Nasution Hasymsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999 
Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi Tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka, Cet. I 2003 
________________
[1] Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka cet. I 2003.
[2] Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka, Cet. I 2003. Hal. 768 
[3] Nasution Hasymsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama. 1999. Hal 130 
[4] Ibid. Hal. 771 
[6] Jamil Ahmad. 100 Muslim Terkemuka, terjemahan dari “Hundred Hreat Muslim” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994. Hal. 167 
[7] http://zbendot.blogspot.com/2012/05/filsafat-nashiruddin-at-thusi.html 
[8] Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka, Cet. I 2003 Hal. 817 
[9] Ibid. Hal. 818 
[10] Ibid. Hal. 813 
[11] Ibid. Hal. 814 
[12] Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka. Cet. I 2003.Hal.801 
[13] Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka. Cet. I 2003.Hal. 804 
[14] Sayid Husain Nasr dan Olifer Leaman. Ensiklopedi tematis filsafat Islam. Bandung: Mizan Pustaka, Cet. I 2003 Hal. 838

0 komentar:

Posting Komentar