Kiai Khalil dalam usahanya untuk mendorong lahirnya organisasi NU yang kemudian diklaim sebagai salah satu organisasi yang berbasis sunni di Indonesia. Namun hingga beliau meninggal pada 29 Ramadhan 1343 H (1922 M), organisasi yang sangat diharapkan oleh beliau belum terbentuk, NU baru lahir setelah beliau wafat, tepatnya 16 Rajab 1344 H. atau pada tanggal 31 Desember 1926 M.[1] Kini NU telah menjadi organisasi Islam yang sangat besar bahkan terbesar di Indonesia.
Kalimat itu juga kemudian disinyalir merupakan salah satu indikator bahwa Kiai Khalil merupakan seorang Ulama yang memilki kemampuan mukasyafah karena beliau telah mencapai tingkatan ma’rifatullah. Sebab, peristiwa seperti yang telah diceritakan di atas kemudian menjadi sebuah cikal bakal terbentuknya organisasi NU dan itu sudah diketahui oleh beliau sebelum NU terbentuk. Kemampuan beliau menerawang pada sebuah kejadian yang belum terjadi inilah (mukâsyafah) yang kemudian menjadi alasan bagi penulis untuk mengadakan penelitian tentang keberadaan beliau dari segi kema’rifatanya. Mulai dari proses beliau sebagai seorang sâlik, hingga beliau memperoleh tingkatan ma’rifat.
Kiai Khalil lahir di Martapuri Kabupaten Bangkalan pada tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H,[2] dan wafat pada tanggal 29 Ramadhan 1343 H. (1925 M).[3] Semasa hidup, beliau mengenyam pendidikan di pondok pesantren, seperti di Langitan Tuban, Bangil dan Keboncandi Pasuruan, juga beliau pernah mengenyam pendidikan di Makkah al-Mukarramah. Selama menjalani masa pendidikannya, baik di Indonesia maupun di Makkah al-Mukarramah, beliau dikenal tekun, ulet dan juga cerdas. Sehingga tidak heran jika beliau selama nyantri di Indonesia sudah mampu untuk membiayai sendiri hingga sampai pembiayaan pergi ke Makkah. Di Makkah, beliau menekuni berbagai macam bidang keagamaan, baik yang bersifat eksoterik (ilmu lahiriyah) maupun esoterik (ilmu batiniyah). Ketekunanya dalam mempelajari ilmu keagamaan, terutama semenjak belajar di Makkah al-mukarramah membuatnya memiliki berbagai macam karamah, yakni suatu kekuatan di luar kebiasaan manusia pada umumnya yang dimiliki oleh seseorang karena ketakwaannya terhadap sang pencipta, Allah SWT. Predikat waliullâh pun disandangnya, dan derajat sufi serta dunia mistik ada pada diri beliau. Tak heran ketika suatu saat di Masjidil Haram terjadi perdebatan antara beberapa ulama untuk mamutuskan hukumnya kepiting dan rajungan; apakah haram atau halal bila dimakan manusia. Dalam debat itu para ulama tidak menemukan penyelesaian.
Dalam suasana yang menegangkan itulah Kiai Khalil memecahkan kesunyian dan meminta diri untuk menyampaikan sesuatu. Menurutnya kesulitan mencari pemecahan masalah yang diperdebatkan tadi, karena para ulama belum melihat secara langsung apa itu binatang yang bernama kepiting dan juga rajungan. Para ulama pun membenarkan perkataan Kiai Khalil. Namun mereka terkejut dan terheran-heran ketika Kiai Khalil mempertontonkan secara langsung dihadapan para ulama sosok kepiting dan rajungan itu dalam kondisi masih hidup dan segar seakan baru diambil dari laut.[4]
Sepulang dari Makkah Al-Mukarramah, beliau mendirikan pesantren di desa Cengkebun, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya di Senenan Bangkalan. Hari demi hari santripun berdatangan untuk belajar kepada beliau. Namun setelah beliau menjadi mertua dari Kiai Muntaha, suami Siti Khatimah putrinya, beliau menyerahkan lembaga tersebut untuk dilanjutkan oleh menantunya itu. Kemudian beliau pindah dan mendirikan pondok pesantren lagi di desa Demangan, 200 meter arah barat alun-alun kota Bangkalan.[5] Di pesantren beliau yang baru, santri pun banyak berdatangan tidak hanya dari desa tetangga, melainkan juga dari pulau Jawa seperti Kiai Hasyim Asy’ari Jombang.[6]
Kiai Khalil, yang sudah menghafal Al-Quran 30 Juz sejak di Indonesia itu, dikenal sebagai ahli fiqih, ilmu alat (Gramatikal Bahasa Arab, pen.) dan tarekat. Beliau juga terkenal dengan kemampuan waskita nya, weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi/ Mukâsyafah). Dalam hal yang terakhir ini nama Kiai Khalil lebih dikenal. Jejak dan langkah Kiai Khalil kini tetap menjadi monumen yang mengalir hidup melalui perjuangan penerus dan pengikutnya. Di Indonesia terdapat kurang lebih 6.000 pesantren lebih yang terus berkhidmah dalam kehidupan bangsa dan agama. Sebagian besar pengasuh pesantren itu mempunyai sanad (persambungan) dengan beliau. Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947), Kiai Abdul Wahab Hasbullah (1888-1971) Kiai Bisri Syamsuri dan kiai-kiai besar lainnya di Jawa. Padahal mereka semua adalah murid Kiai Khalil. Artinya kebanyakan kiai yang ada sekarang ini mempunyai sanad sampai ke Kiai Khalil Bangkalan, muara yang penuh misteri.[7]
Sebagai seorang ulama besar dan kharismatik, Kiai khalil juga ikut mewarnai dalam proses Islamisasi di pulau Madura. Beliau juga seorang pejuang kemerdekaan dalam melawan penjajahan kolonial waktu itu. Perjuangan dan pergerakan beliau dalam upaya melawan penjajah tidak dengan pergerakan masa yang anarkis, namun beliau menggunakan pendekatan diplomatik dengan kaum penjajah. Cara yang ditempuh oleh Kiai Khalil untuk menarik simpati rakyat Bangkalan dalam melawan penjajah, ialah berbaur dengan masyarakat. Selain melaksanakan visi dan misi utamanya, yaitu menyebarkan agama Islam yang tidak beliau lakukan didalam pesantrennya saja, namun juga turun ke desa-desa dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat setempat. Seperti yang terlihat dari jejak langkah peninggalan beliau di desa Telaga Biru, di desa ini mata pencaharian masyarakatnya adalah melaut, sebagai nelayan atau sebagai saudagar dan pedagang. Di desa itu proses pergaulan yang dibangun Kiai Khalil adalah dengan cara melakukan proses kebersamaan, beradaptasi dengan para masyarakat pesisir setempat, sampai pada akhirnya Kiai Khalil membuat sebuah perahu layar dengan tujuan perdagangan antar pulau.[8]
Beliau mengajarkan nilai-nilai sosial yang baik dan pendalaman aqidah Islamiyah. Sebagai penganut faham sunni, beliau senantiasa memberikan pengajaran dibidang keagamaan melalui rujukan kitab-kitab madzhab Syafi’iyyah. Hal ini beliau lakukan karena latar belakang dari masyarakatnya adalah Syafi’iyah termasuk ajaran yang ditanamkan oleh ayah beliau sendiri sebagai guru pertamanya sebelum berpetualang mencari ilmu pengetahuan keluar Madura.[9]
Kekaromahan Kiai Khalil Bangkalan yang dilaluinya lewat sulûk al tasawuf kini hanya sebuah cerita dari mulut kemulut yang nantinya akan berakhir dengan hilangnya mutiara kisah tentang beliau. Walaupun ada beberapa buku yang memuat kisah – kisah tentang beliau, seperti Surat kepada Anjing Hitam, Biografi dan Karomah Kiai Khalil, karangan Saifur Rachman, terbitan pustaka Ciganjur, juga buku dengan judul Syaichona Cholil Bangkalan, Ulama Legendaris dari Madura, karangan Mokh. Syaiful Bahri, terbitan Cipta Pusaka Utama, Pasuruan. Namun setelah penulis teliti dan pelajari ternyata tidak sepenuhnya memuat dan membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan dunia kema’rifatan beliau mulai beliau menapaki tangga-tangga sebagai perambah jalan tasawwuf hingga beliau sampai pada tingkatan ma’rifat/ waliullâh.
Sejarah perjalanan dan pemikiran murid-murid Kiai Khalil sudah terdokumentasikan, namun sejarah perjalanan, apalagi pemikiran dan ajaran Kiai Khalil sendiri, yang nota benenya adalah guru para deklarator NU dan kiai-kiai besar lainnya di Jawa dan luar jawa sekalipun, sangatlah minim. Maka dari itu untuk memperkuat bukti literatur dalam penelitian ini, penulis juga melakukan beberapa wawancara dengan sumber-sumber yang dapat dipertanggung jawabkan, antara lain adalah KH. Fakhrillah Sahal, beliau merupakan cicit dari Kiai Khalil, juga KH. Abd. Wahab Jazuli, seorang kiai sekaligus mursyid tariqat Syadziliyah di Bangkalan, Ust. M. Toyyib Sulaiman sesepuh pengurus pondok pesantren Sumurnangka Kwanyar Bangkalan, dan lainnya.
Keberadaan Kiai Khalil sebagai seorang sufi, telah banyak meninggalkan kenangan yang hingga kini masih terasa di tengah-tengah masyarakat. Ajaran-ajaran beliau masih banyak diikuti oleh para pengikutnya secara turun temurun hingga seperti sekarang ini.
1. Daftar Pustaka
Consuelo G. Sevilla dkk., Pengantar Metode Penelitian, Penerjemah Alimudin Tuwu. Jakarta: UI-Press, cet. I, 1993.
Ma’sum, Saifullah. Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU. Bandung: Mizan, 1998.
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung : Mizan, Cet. I, 1995.
Rozaki, Abdul. Menabur Kharisma Menuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura, Yogyakarta : Pustaka Marwa, Cet.I, 2004.
Saifurrahman. Biografi dan Karomah Kiai Khalil Bangkalan, Surat Kepada Anjing Hitam. Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999.
Syaiful, Bakhri, Muhammad. Syaichona Cholil Bangkalan, Ulama Legendaris dari Madura. Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2006.
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Jogjakarta: PT. Tiara Wacana, Cet. I, 2001.
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Cet. III. Jakarta: Depdiknas - Balai Pustaka, 2005.
[1] Saifurrahman, Biografi dan karomah Kiai Khalil Bangkalan, Surat Kepada Anjing Hitam, (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), h. 28.
[2] Mokh. Syaiful Bakhri, Syaichona Cholil Bangkalan, Ulama Legendaris dari Madura, (Pasuruan: Cipta Pustaka Utama, 2006), h. 27.
[3] Mokh. Syaiful Bakhri, Kiai Khalil Bangkalan, Ulama Legendaris dari Madura, h. 46.
[4] Saifurrahman, Biografi dan karomah Kiai Khalil Bangkalan, Surat Kepada Anjing Hitam, (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), h. 43-44.
[5] Saifurrahman, Biografi dan karomah Kiai Khalil Bangkalan, Surat Kepada Anjing Hitam, (Jakarta : Pustaka Ciganjur, 1999), h. 16.
[6] Salah satu pendiri Nahdlotul Ulma (NU). Beliau adalah kakek dari KH. Abdur Rahman Wahid (Gus Dur ).
[7] Saifullah Ma’sum, Karisma Ulama’, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU, (Bandung : Mizan, 1998), h. 23.
[8] Abdur Rozaki, Menabur Kharisma Manuai Kuasa: Kiprah Kiai dan Blater sebagai Rezim Kembar di Madura, Yogyakarta : Pustaka Marwa, Cet.I, 2004, hal.129-130.
[9] KH. Abd. Wahab, 2007.
0 komentar:
Posting Komentar