Selasa, 19 Juni 2012

Fenomenologi Edmund Husserll

Riwayat Hidup
Fenomenologi sebagai suatu gerakan filsafat hingga memperoleh bentuk seperti sekarang ini, pertama kali diintrodusir oleh filsuf Jerman Edmund Gustav Aibercht Husserl (Ia adalah seorang ahli ilmu pasti dan profesor Filsafat dari Universitas Freiburg di Breisgau (Jerman Selatan) kira-kira satu abad yang lalu), lahir di Prestejov (dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia 8 April 1859 dari keluarga yahudi. Di Universitas ia belajar ilmu alam, ilmu falak, matematika dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan Wina. Di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano. Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin, London, Paris, dan Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya dibawa ke Universitas Leuven di Belgia.[1]

Pokok Pemikiran

“Ilmu tentang perkembangan kesadaran dan pengenalan diri manusia sebagai ilmu yang mendahului ilmu filsafat atau bagian dari filsafat"[2]

Fenomenologi berasal dari dua kata yaitu fenomenon dan logos. Fenomenon mempunyai makna sama dengan akar kata fantasi yaitu sesuatu yang bersinar. Dari sinar tersebut muncullah pengertian sesuatu yang tampak karena bercahaya. Atau lebih pasnya kita sebut dangan gejala. Gejala dalam kamus bahasa Indonesia (edisi keempat) berarti keadaan yang menjadi tanda-tanda akan timbulnya sesuatu.
Dari penjelasan di atas sudah terlihat tendensi fenomenologi yang akan kita bicarakan. Bahwa fenomenologi akan berbicara bagaimana manusia mendapatkan realita semurni-murninya tanpa harus ada campur tangan subjek, orang lain ataupun segala sesuatu di luar fenomen itu sendiri. Artinya, kebenaran tersebut hanya ada pada fenomen itu sendiri yang tampak pada kesadaran manusia.[3]
Manusia mengenal realita yang sebenarnya ketika antara manusia bertemu dan bersatu dengan realitas. Keadaan inilah yang oleh Edmund Husserl disebut sebagai sebuah fenomena (belum murni) atau fenomen untuk lebih mudahnya. Kita sebut dengan fenomen belum sempurna karena dalam keadaan ini, selain menampakkan dirinya, fenomen juga menyembunyikan dirinya. Baik ketersembunyiannya itu disebabkan oleh fenomen itu sendiri ataupun oleh subjek itu sendiri. sehingga fenomen tersebut masih terselubungi oleh kabut-kabut. Kira-kira demikian maksudnya.
Oleh karena itu manusia harus terus-menerus bertanya, menganalisis terhadap fenomen tersebut guna untuk membedah realitas yang sebenarnya, sehingga tersingkaplah kabut tersebut dan tampaklah pengertian tentang fenomen yang sebenarnya.
Dalam pembahasan fenomenologi ini, kita bisa menguraikannya dalam dua perbedaan yaitu fenomenologi sebagai sebuah metode dan fenomenologi sebagai sebuah ajaran.

Fenomenologi sebagai Sebuah Metode
Untuk mengetahui dan faham metode ini. Sangat begitu penting mengetahui tujuan Husserl bahwa metode tersebut tidak lain untuk menerangkan bahwa pengertian kita tentang sesuatu betul-betul real. Yaitu kita mengerti dan dalam pengertian itu kita berkata bahwa pengertian itu mempunyai objek. Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan persoalan kebenaran pengertian ilmiah secara umum.[4]
Dalam pemaparan yang lain dan bahkan di atas sudah sedikit disinggung bahwa dalam menggapai kebenaran manusia tidak memunyai hak mencampuradukkan pengetahuannya tentang fenomen –yang hendak diketahui kebenarannya- dengan fakta atau gejala yang berasal dari fenomen itu sendiri. Husserl juga mengatakan bahwa teori-teori atau pengetahuan yang sudah tertanam dalam sanubari manusia tidak akan membantu tersingkapnya kebenaran yang hakiki dari fenomen tersebut, bahkan ia yang akan mensuramkannya. Ia yang akan memunculkan makna-makna baru diluar fenomen tersebut.
Dengan demikian, manusia harus mengurung (menahan) segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan objek atau fenomenal –istilah tepatnya menyaring hal yang tidak penting- sehingga yang tersisa murni hanyalah fenomen itu sendiri. Namun, di sini muncul suatu pertanyaan bagaimana caranya? Tidak ada cara lain kecuali manusia menetapkan fenomen sebagai suatu sumber satu-satunya yang akan menebarkan penjelasan murni.
Penjelasan seperti ini kadang disalah artikan sebagai suatu pengetahuan spontan terhadap objek. Misalnya kita menangkap suatu fenomen sebutlah itu kera, anjing dan kholik. Ketika melihat objek-objek tersebut, kita mengklaim bahwa apa yang di dapat dari objek tersebut merupakan pengetahuan yang real. Maksud Husserl tidak demikian, karena pengetahuan spontan seperti itu masih ada suatu campur tangan subjek. Ini dibuktikan dengan pembicaraan tentang hal itu karena penampakan yang seakan penampakan tersebut tidak dihiraukan sehingga yang kita sebenarnya memandang realita diluar fenomen tersebut kemudian kita justifikasikan sebagai fenomen yang sesungguhnya karena itu sudah menjadi kebiasaan.[5]
Tetapi Husserl mempunyai keinginan lebih jauh dari itu. Dimana manusia bisa mampu memahami keseluruhan dari fenomen semurni mungkin tanpa ada yang mencampurinya. Langkah yang dilakukan selain yang sudah dijelaskan di atas, manusia harus menganalisis segala yang intisari yang berhubungan dengan fenomen. Sedangkan yang tidak penting dan diluar fenomenal kita harus menyaringnya atau menahannya atau kalau perlu dibuang saja. Sehingga pada akhirnya sampailah pada idea yang menjelaskan secara real tentang hakikat sesuatu.

Fenomenologi sebagai Ajaran
Fenomenologi sebagai ajaran Husserl ini pada akhirnya mengarah pada pandangan idealisme meskipun tidak sama persis dengan pemikiran idealisme Hegel dan kawan-kawa. Kesimpulan ini berasal dari akhir analisis Husserl tentang realitas yang sebenarnya. Analisis Husserl terhadap realita tersebut menghasilkan suatu yang transenden. Suatu yang trasenden tersebut tidak lagi terikat dengan suatu yang empiris, tetapi lepas darinya.
Alasan-alasan yang mendasari statement tersebut adalah karena memang ketika realitas dunia dianalisis ternyata yang lahir hanyalah keraguan. Kebenaran tentang barang-barang dunia tidak bisa dipertanggung jawabkan. Menurut Husserl objek empiris tersebut memang tidak ada yang benar atau real. Sehingga apapun yang masih melekat pada dunia empiris tidak akan pernah bisa memberikan suatu penjelasan tentang suatu realitas.[6]
Mungkin akan ada pertanyaan tentang bagaimana ketika kita memandang sudut-sudut kursi seperti panjang, lebar, berkaki empat dan lain sebagainya? Itu semua bukan realitas tetapi hanya sebauh penampakan. Yang real adalah bukan cirri-ciri kursi tetapi totalitas dari kursi yang merupakan pemangku dari semua itu yang pada akhirnya hanya ada kata kursi.
Kursi disini bukan secara empiris. Kursi secara empiris hanyalah sebuah gejala awal. Tetapi kursi yang real itu adalah sesuatu yang ditangkap oleh kesadaran kita. Apa yang kita sebut sebagai realitas supraempiris. Kursi yang ada tersebut adalah kursi yang kita tanggap dengan kesadaran kita. Artinya, segala yang ada hanyalah apa yang kita tangkap dari pengalaman empiris kemudian ditransendenkan oleh kesadaran kita sehingga ia tidak lagi berada dalam dunia empiris tetapi berada dalam dunia non empiris yang pasti ada yang tidak terbantahkan lagi. Dengan kata lain, objek tersebut dibentuk oleh kesadaran kita.
Dari pemaparan diatas jelaslah pemikiran idealisme Husserl. Pemikiran yang berujung pada suatu yang dibenarkan oleh kesadaran kita. Dan diluar kesadaran tersebut adalah ketiadaan.

Penutup
Sebagai penutup tulisan ini, penulis mencoba menyimpulkan, walaupun masih jauh dari sempurna. Di mana ciri khas pemikiran Husserl tentang bagaimana semestinya menemukan kebenaran dalam filsafat terangkai dalam satu kalimat “Nach den sachen selbst” (kembalilah kepada benda-benda itu sendiri).
Jelas bahwa fenomenologi merupakan suatu respon terhadap isme-isme yang ada pada waktu itu. Karena kaum fenomenologi menganggap bahwa pemikiran ataupun metode faham-faham selain yang diyakini sudah keluar dari kebenaran tentang apa yang didefinisikan.
Kemudian, setuju atau tidak fenomenologi sudah sangat memberikan ilham dan sangat berpengaruh terhadap perkembangan berbagai ilmu pengatahuan berikutnya seperti psikologi humanistik seperti yang dijelakan Fuad Hassan, ilmu jiwa, sosiologi, estetika, ilmu budaya dan lain sebagainya. Tetapi yang mengilhami ilmu di atas adalah fenomenologi sebagai sebuah metode yang memang sebagai metode tidak bisa dilepaskan dari doktrin. Demikianlah kata penulis buku Esai-Esai Falsafah Pemikiran yang diterbitakan Gramedia.

Daftar Pustaka
  1. A. Sudiarja. Dkk. Karya Lengkap Diyarkarya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006.
  2. Hassan, Fuad, Stadium General, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, cet ke-3, 2001.
  3. Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983.
  4. Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005.
  5. Nasution, Hasan Bakti, Falsafah Umum, Jakarta: Gaya Media Pertama, cet I, 2001.


[1] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 114.
[2] Kamus Filsafat karangan Lorens Bagus, Kamus Filsafat,Jakarta: Gramedia, 2005.
[3] Hassan, Fuad, Stadium General, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, cet ke-3, 2001.
[4] Driyarkara, Esai-Esai Falsafah Pemikiran Yang Terlibat Penuh Dalam Perjuanga Bangsanya, Jakarta: PT Kompas, PT Gramedia, Kanisius dan Ordoserikat Jesus Provinsi Indonesia, 2006.
[5] Driyarkara, Esai-Esai Falsafah Pemikiran Yang Terlibat Penuh Dalam Perjuanga Bangsanya, Jakarta: PT Kompas, PT Gramedia, Kanisius dan Ordoserikat Jesus Provinsi Indonesia, 2006.
[6] Nasution, Hasan Bakti, Falsafah Umum, Jakarta: Gaya Media Pertama, cet I, 2001.

1 komentar: