Sabtu, 10 November 2012

Konsep Free Will dan Predestination


Konsepsi tentang perbuatan manusia pernah menjadi perdebatan yang begitu hebat di dunia Islam. Begitu hebatnya perdebatan itu, sehingga mengakibatkan pembunuhan terhadap para aktifisnya. Nuansa perdebatan itu pun hingga kini masih terasa. Nuansa itu akan terus terasa dan terus terjadi hingga di jaman yang akan datang.

Dalam ranah pemikiran Islam (baca; Ilmu Kalam), perbuatan manusia diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang memandangnya sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan, dia bias lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bisa saja untuk tidak melakukannya. Kedua, begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bias berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala. Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah. Sementara yang kedua disebut Jabariyah.

Dalam perkembangannya, kedua aliran tersebut ternyata dijadikan kendaraan politik untuk melanggengkan kekuasaan. Bani Umayyah merupakan contoh yang dapat mendeskripsikan keadaan tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam berbagai literature sejarah peradaban Islam, Bani Umayyah memanfaatkan faham jabariyah untuk melanggengkan kekuasaannya. Sementara paham Qadariyah pada saat itu menguntungkan pihak oposisi, dalam hal ini adalah Bani Abbasiyah. Bani Umayyah tentunya dengan faham Jabariyahnya melakukan berbagai intimidasi bahkan pembunuhan terhadap para pemberontak pemerintahan. Ketika ditanya, mengapa mereka melakukan itu? Mereka akan sangat mudah menjawab, “ini semua bukan atas kehendak kami, melainkan kehendak Tuhan”. Bani Umayyah menjadikan doktrin agama sebagai landasan bagi tindakan mereka.

Konsep Free Will dan Predestination Mu’tazilah dan Asy’ariah
Orang yang pertama membina aliran mu’tazilah adalah Wasil bin Atho lahir pada tahun 81 H. Dimadinah dan meninggal thn 131 H. Disana ia belajar pada Abu Abdullah Ibnu Muhammad Ibnu Al-hanafiah, kemudian pindah ke Basrah dan belajar pada Hasan al-Basriy.

Ajaran pertama yang dibawakan wasil tentulah paham Al-manzilah bain Al-manzilatain. Posisi diantara dua posisi dalam arti posisi menengah. Menurut ajaran ini. Orang yang berdosa besar adalah bukan kafir. Sebagai disebut kaum Khowarij. Dan bukan pula mu’min sebagai dikatakan Murjiah. Tetapi fasik yang menduduki diantara spsisi mu’min dan posisi kafir. Kata mu’min, dalam pendapat Wasil. Merupakan sifat baik dan pujian yang tak dapat diberikan kepada fasik. Dengan dosa besarnya. Tetapi predikat kafir tak pula dapat diberikan kepadanya, karena dibalik besar, ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan yang baik. Orang serupa ini kalau meniggal dunia tanpa taubat. Akan kekal dalam neraka. Hanya siksaan yang diterima lebih ringan dari siksaan yang diterima kafir.[1]

Ajaran yang kedua adalah paham Qodariyah yang dianjurkan olah Ma’bad dan Ghailan. Tuhan, kata Wasil bersifat bijakasana dan adil. Tidak mungkin tuhan menurunkan perintah pada manusia untuk berbuat sesuatu kalau manusia tidak mempunyai daya dan kekuatan untuk berbuat.

Ajaran yang ketiga mengambil bentuk peniadaan sifat tuhan dalam arti bahwa apa yang disebut tuhan sebenarnya bukan sifat yang mempunyai wujud tersendri diluar sebab. Tuhan, tatapi sifat yang merupakan esensi tuhan.

Ajaran yang keempat Al-adluh (dalam keadilan tuhan) sedangkan ajaran yang kelima adalah Al-wa’d wa Al-wid (janji buruk dan ancaman) sekarang ajaran yang ke enam adalah amar ma’ruf nahi mungkar (memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu dalam kekerasan)[2]

Sebagai yang dikatakan kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Quraan yang dalam istilah teologi disebut kalam Allah. Bukan qodim atau kekal, tetapi hadis dalam arti baru yang diciptakan tuahan.

Diantara pemimpin yang sama kemasyhuran yang sama dengan Wasil, Abu al-Husail dan al-Nazam ialah Abu Ali Al-Muhamab bin Abduh wahab al-Jubai (W, 295 H) dan anaknya abu Hasyim abu Asalama (W. 321 H) mereka juga berpendapat bahwa yang disebut kalam atau sabda tuhan tersusun dari huruf dan suara.

Mengenai peniadaan sifat tuhan. Al-Jubai berpendapat tuhan mengetahui melalui esensinya demikian berkuasa dan hidup melalui esensinya dalam teks arabnya disebut.

عالم لذاته قادر حى لذاته .

“Dengan demikian tuhan, untuk mengetahui tidak perlu pada sifat mengetahui dan pula tidak pada keadaan mengetahi”.[3]

Kaum Mu’tazilah, karena dalam system teologi mereka manusia dipandang mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu manganut paham qadariah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah. Pula keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.

Al Jubba’I umpamanya, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatnnya., manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan atas kemauannya sendiri. Dan daya (al istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama diberikan pula oleh “abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia bukanlah diciptakan manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan. Perbuatan ialah apa yang dihasilakan dengan daya yang bersifat baharu. Manusia adalah manusia yang dapat memilih.

Al-As’ariah nama lengkapnya adalah Abu al-hasan ali bin ismail bin ishaq bin salim bin abdillah bin musa bin bilal bin abi burdah bin abi musa Al-As’Ari. Beliau dilahirkan Dibasrah pada tahun 260 H. dan Wafat pada tahun 330 H. Ia merupakan keturunan seorang sehabat nabi yang termashur, Abu musa asy’ari.[4]

Berbeda dengan Mu’tazilah, al-Asy’ari, kata Harun Nasution, memandang lemah manusia. Karenanya, al-Asy’ari lebih dekat kepada paham Jabariyah. Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kewamauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy’ari memakai kata al-Kasb (acquisition, perolehan).

Dalam kitabnya al-Maqalat, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Arti al-kasb menurut al-Asy’ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang dengan dayanya perbuatan itu timbul. Di kitabnya yang lain, al-Luma, al-Asy’ari juga memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah bahwa sesuatu timbul dari al-Muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan perantaraan daya yang diciptakan.

Tentang teori al-Asy’ari di atas, Harun Nasution memberi komentar. Menurutnya, term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung arti kompromi antara kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul dari yang memperoleh membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab manusia atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan Tuhan, menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.

Pendapat al-Asy’ari seperti di atas, dapat dilihat dari urainnya mengenai perbuatan-perbuatan involunter dari manusia. Dalam perbuatan-perbuatan involunter, kata al-Asy’ari, terdapat dua unsure; [pertama] penggerak yang mewujudkan gerak dan [kedua] badan yang bergerak. Penggerak dalam hal ini maksudnya adalah Tuhan, sedangkan yang bergerak maksudnya adalah manusia. Yang bergerak bukanlah Tuhan, sebab, gerak menghendaki tempat yang bersifat jasmani, sedangkan Tuhan tidak mempunyai bentuk jasmani. Dari sinilah kemudian al-Asy’ari mengemukakan teori kasbnya. Menurutnya, al-Kasb juga serupa dengan gerak involunter, yakni mempunyai dua unsure; [pertama] pembuat (Tuhan) dan [kedua] yang memperoleh perbuatan (manusia). Pembuat yang sebenarnya dalam kasb adalah Tuhan, sedangkan yang memperoleh perbuatan adalah manusia. Tuhan tidak menjadi yang memperoleh perbuatan, karena kasb terjadi hanya dengan daya yang diciptakan, dan Tuhan tidak mungkin mempunyai daya yang diciptakan.

Menurut Harun Nasution, jika dilihat uraian al-Asy’ari di atas, jelaslah sebenarnya tidak ada perbedaan antara perbuatan involunter dan al-kasb. Dua-duanya merupakan dari Tuhan. Tuhanlah yang menjadi pembuat sebenarnya dari perbuatan-perbuatan manusia. Manusia hanyalah sebagai tempat mewujudkan dan berlakunya perbuatan-perbuatan Tuhan. Jika demikian, kata Harun, kasb, sebagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan involunter, merupakan perbuatan paksaan dan perbuatan di luar kekuasaan Tuhan. Namun, bagi al-Asy’ari, demikian Harun Nasution, kedua hal itu berbeda. Dalam perbuatan involunter, manusia terpaksa melakukan sesuatu yang tidak dapat dielakkannya, walau bagaimanapun ia berusaha, namun dalam al-kasb paksaan yang demikian tidak teradapat.. Gerak manusia yang berjalan pulang pergi berlainan dengan gerak manusia yang menggigil karena demam. Meskipun keduanya sama-sama mengandung unsure gerak, namun tetap saja berbeda. Dalam hal yang pertama terdapat daya yang diciptakan, sedangkan dalam hal yang kedua terdapat ketidakmampuan. Karena dalam hal pertama teradapat daya, kata Asy’ari, perbuatan itu tidak dapat disebut paksaan; kepadanya diberi nama al-kasb. Begitupun, kedua perbuatan itu adalah ciptaan Tuhan.[5]

Di sini belum jelas, daya yang menyebabkan manusia mewujudkan perbuatan itu apakah bersatu dengan diri manusia atau tidak? Apakah daya itu ada sebelum perbuatan atau ada bersama-sama perbuatan? Menurut al-Asy’ari, daya itu lain [berpisah] dari diri manusia sendiri, karena manusia terkadang berkuasa dan terkadang tidak berkuasa. Daya tidak terwujud sebelum adanya perbuatan; daya itu ada bersama-sama dengan adanya perbuatan dan daya itu ada hanya untuk perbuatan yang bersangkutan saja.

Dalam paham al-Asy’ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya; daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi yang berpengaruh dan yang efektif pada ahirnya dalam perwujudan perbuatan ialah daya Tuhan.

Itu argument-argumen al-Asy’ari secara rasional. Al-Asy’ari menggunakan dalil al-Quran untuk menguatkan teologinya. Alasan al-Asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan didasarkan pada Qs. al-Shaffat: 96
Yang artinya: “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".

Wa ma ta’malun dalam ayat di atas diartikan al-Asy’ari “dan apa yang kamu perbuat”. Jadi, secara global ayat itu diartikan “Dan Allahlah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat”. Dalam edisi al-Quran terjemah Indonesia juga artinya sama seperti itu. Jika merujuk pada kitab tafsir bi al-Maksur, misalnya Tafsir al-Quran al-‘Adzim, karya Ibnu Katsir, maknanya juga hampir sama dengan yang diungkapkan al-Asy’ari. Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir mengutip hadits riwayat Bukhari dalam kitab Af’al al-Ibad yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama bersabda: “Sesungguhnya Allah Ta’aala adalah pencipta setiap pembuat (pekerja) dan perbuatannya (pekerjaannya).[6]

Namun, karena argument inilah al-Asy’ari banyak mendapat kritikan. Fazlur Rahman misalnya. Dia mengkritik al-Asy’ari baik karena argument naqlinya ini, ataupun teorinya tentang kasb (acquire, memperoleh). Tentang isitlah al-Kasb yang digunakan al-Asy’ari, pernyataan Rahman sangatlah menarik. Menurut Rahman, al-Asy’ari ketika ditanya mengapa ia menggunakan kata acquire daripada kata do berkenaan dengan manusia. Jawaban al-Asy’ari, sebab al-Quran pun begitu. [padahal] al-Quran, kata Rahman, tentu, dengan jelas menggunakan kata “do” (fa’ala) dan “perform” (‘amala) berkenaan dengan manusia. Sementara istilah al-Kasb oleh al-Quran agak jarang digunakan. Al-Quran tampak mengunakan istilah ini ketika ingin menegaskan tidak hanya menunjukkan perbuatan tetapi membangkitkan rasa tanggung jawab terjadap perbuatan manusia, baik atau buruk. Karena itu, demikian Rahman, al-Asy’ari pasti melakukan penekanan terhadap makna al-Quran di sini.

Sedangkan mengenai interpretasi al-Asy’ari terhadap Qs. al-Shaffat:96, disini pernyataan Rahman juga sangat menarik. Kata Rahman, interpretasi al-Asy’ari terhadap ayat itu merupakan usaha yang sangat rasional untuk membuktikan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia. [padahal] Ini merupakan bagian pembicaraan Ibrahim kepada orang-orang yang menyembah berhala. Saat itu, Ibrahim berkata pada mereka; “Apakah kamu menyembah apa yang kamu bentuk [pahat]? Jelas, kata Rahman, bahwa ayat ini juga menyatakan bahwa Ia-lah Tuhan yang telah menciptakan kamu dan berhala-berhala yang telah kamu buat itu. Tetapi al-Asy’ari, demikian Rahman, mengganti kata-kata “apa yang kamu buat” dengan kata-kata “apa yang kamu lakukan”. Dalam bahasa Arab, wa maa ta’malun, sangat rentan terhadap dua penafsiran. Tetapi secara jelas, konteks itu melawan interpretasi Asy’ari.

Kalau kita cermati, teologi yang diusung, baik oleh Mu’tazilah ataupun Asy’riyah, pada dasarnya ingin membela Allah subhanahu wa ta’ala. Mu’tazilah dengan teologi mirip Qadariyah, membela Allah subhanahu wa ta’ala dalam masalah keadilan. Bagi mereka, Allah subhanahu wa ta’ala itu harus adil. Dia tidak mungkin dinisbatkan dengan kejahatan dan kedzaliman, yang keduanya itu, terdapat dalam perbuatan manusia. karenanya, bagi mereka perbuatan dzalim, buruk, jahat dan juga perbuatan baik itu merupakan perbuatan murni manusia. Namun, tanpa disadari, dengan teologinya ini mereka menafikan kekuasaan dan kehendak Mutlak Allah subhanahu wa ta’ala. Di lain sisi, dengan penekanan yang berbeda, bahkan mungkin bisa dikatakan bertentangan, Asy’ariyah menganggap bahwa Tuhan itu berkuasa dan berkehendak secara Mutlak. Dia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakiNya. Dia bisa saja memasukkan orang yang suka maksiat ke dalam surga. Karena dari awal, surga dan Neraka sudah ditetapkan penghuninya. Namun, Asy’ari juga terjebak. Dia, disadari atau tidak, menafikan keadilan, rahmat dan hikmahNya. Mungkin perkataan Muthahhari ada benarnya juga. Dengan memberi takanan kuat pada prinsip keadilan, kata dia, Mu’tazilah telah mengorbankan tauhid af’al, tetapi dengan memberi tekanan kuat pada tauhid af’al, Asy’ariyah telah mengorbankan prinsip keadilan.

Abu manshur al- maturidi dilahirkan di maturid, sebuah kota kecil didaerah samarkand, wilayah trimsoxiana di asia tengah, daerah yang sekarang disebut uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti hanya diperkirakan setengah abad ke-3 H. Ia wafat pada tahun 333 H atau 944 M. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama yasir bin yahya al-balaki ia wafat pada tahun 268 H.[7] Al-maturidi hidup pada massa khilafah al-mutawwakil yang memerintah pada tahun 323-274/847-861 M.

Begitulah teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah tentang free will dan predestination. Bagaimana dengan aliran lainnya? Bagi golongan Maturidiyah, perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan.[8] Manusia sama sekali tidak memiliki kekuatan. Sebelum berbuat, manusia memiliki kekuatan tertentu, yang termasuk kekuatan fisik dimana ia diberi. Tetapi untuk perbuatan actual, kekuatan alamiah ini disempurnakan dengan kekuatan lain, karena itu perbuatan itu perlu dan dengan serta mengikuti. Kekuatan kedua ini diciptakan oleh Tuhan melalui agen pada saat perbuatan.

Pendapat Maturidi tersebut ada kemiripan dengan Asy’ariyah. Namun, substansi keduanya agak berbeda. Bagi Maturidi, yang namanya perbuatan itu ada dua, [pertama] perbuatan Tuhan dan [kedua] perbuatan manusia. Perbuatan Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia. Daya diciptakan bersama-sama dengan perbuatan. Jadi tidak sebelum perbuatan seperti dikatakan Mu’tazilah. Perbuatan manusia, bagi Maturidi, adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan. Pemberian upah dan hokum didasarkan atas pemakaian daya yang diciptakan. Dengan demikian, manusia diberi hukaman atas kesalahan pemakaian daya dan diberi upah atas pemakaian yang benar dari daya.[9]

Menurut Harun Nasution, Al-Maturidi menyebut daya yang diciptakan, tetapi tidak ia jelaskan apakah daya itu merupakan daya manusia, seperti dijelaskan Mu’tazilah ataukah daya Tuhan seperti disebut Asy’ariyah. Berpegang kepada pndapatnya bahwa daya adalah yang diciptakan dalam diri manusia dan bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya, daya untuki berbuat itu tak boleh tidak mestilah daya manusia, karena orang tidak dapat memandang sesuatu perbuatan sebagai perbuatannya senidri, kalau bukanlah ia sendiri yang mewujudkan perbuatan itu. Kaum Asy’ariyah, karena memandang perbuatan adalah perbuatan Tuhan, tidak berani memandang perbuatan manusia sebagai perbuatan manusia yang sebenarnya.

Mengenai soal kehendak, keterangan al-Maturidi tentang upah dan hukuman mengandung arti bahw kemauan manusialah yang menentukan pemakaian daya, baik untuk kebaikan maupun untuk kejahatan. Karena salah atau benarnya pilihan dalam memakai dayalah maka manusia diberi hukuman atau upah. Manusia tentu tidak dapat mengadakan pilihan, kalau ia tidak bebas, tetapi berada dibawah paksaan daya yang lebih kuat dari dirinya.

Sungguhpun demikian, di dalam pendapat aliran Maturidiah, baik golongan Samarkand maupun Bukhara, kemauan manusia adalah sebenarnya kemauan Tuhan. Ini berarti bahwa perbuatan manusia mempunyai wujud atas kehendak Tuhan dan bukan atas kehendak manusia. dan ini selanjutnya mengandung arti paksaan atau fatalisme dan bertentangan dengan paham al-Maturidi tentang kebebasan memilih yang disebut di atas. Tetapi sebagai pengikut Abu Hanifah, al-Maturidi membawa ke dalam hal ini paham masyi’ah atau kemauan dan ridha atau kerelaan. Manusia melakukan segala perbuatan baik dan buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak selamanya dengan kerelaan hati Tuhan. Tuhan tiadak suka manusia berbuat jahat. Tegasnya, manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan hati Tuhan; sebaliknya betul manusia berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan hati Tuhan.

Kesimpulan
Jadiperbuatan manusia sebenarnya perbuatan manusia dan bukan perbuatan Tuhan. Maka daya yang mewujudkan perbuatan itu tidak boleh tidak mesti daya manusia sendiri ndan bukan daya Tuhan. Akan tetapi Menurut Asy’ariah: Manusia dipandang lemah, manusia dalam kelemahannya banyak tergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan,

وماتشاءون الاان يشاءالله

“Dan tidak ada kehendak melainkan dengan kehendak Allah”

Dan juga menurut al-Maturidi: Perbuatan manusia adalah juga ciptaan Tuhan dan mempunyai dua perbuatan, perbuatan manusia dan perbuatan Tuhan.

Daftar Pustaka
Nasution Harun. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010
Abdurrozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam . Bandung: Pustaka Setia
al-Quran al-‘Adzim, al-Juz -4, Dar al-Jail, Bairut: 1411 H/1991 M
Nukman Abbas al-Asy;ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Taqdir Tuhan. Jakarta Erlangga
Terjemahan al-qur’an surat ashoffat ayat 96.
http//:www. Free will and predestination.com
________________
[1] Harun Nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010. Hal. 43
[2] Harun Nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010. Hal. 45
[3] Harun Nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010. Hal. 51
[4] Nukman Abbas al-Asy;ari: Misteri Perbuatan Manusia dan Taqdir Tuhan. Jakarta Erlangga. hal. 105
[5] [5] Harun nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010. Hal. 107
[6] al-Quran al-‘Adzim, al-Juz -4, Dar al-Jail, Bairut: 1411 H/1991 M, hal. 15
[7] Abdurrozak dan Rosihon Anwar . Ilmu Kalam . Bandung: pustaka setia. hal. 24
[8] Harun nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010. hal. 112
[9] Harun nasution. Teologi Islam. Jakarta: UI-Press. 2010. Hal. 113

0 komentar:

Posting Komentar