Pendahuluan
Dalam kitab suci al-Qur’an menyatakan bahwa alam dicipta Allah. Bagaimana penciptaan itu terjadi, maka banyaklah teori yang dikembangkan. Suhrawardi menggambarkan Allah sebagai Cahaya, dan alam ini adalah sinarnya. Jadi penciptaan digambarkan secara pancaran (emanasi). Sufi seperti Ibn ‘Arabi melihat penciptaan sebagai tajalli, manifestasei sifat-sifat Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa pertama Allah mencipta universal akal lalu jiwa universal, barulah kemudian planet–plenet, binntang-bintang, bulan dan bumi. Semua teori bisa diterima selama tidak menolak keberadaan Allah sebagai Khalik dan Rabb al-’alamin. Disini penulis akan menyinggung tentang kosmologi sufi Ibn ‘Arabi, yang difokuskan pada penilain tentang hal itu. Selamat menyimak.
Pengertian Kosmologi Islam
Kosmos dari bahasa Yunani "dunia teratur", "bentuk atau susunan benda". Istilah ini bahasa sederhananya adalah "keteraturan alam".
Kosmologi ( Inggris = cosmology) dari bahasa Yunani "kosmos" (dunia, alam semesta) dan "logos" (ilmu tentang). Jadi kosmologi adalah "ilmu yang memandang alam semesta sebagai suatu keseluruhan yang integral."[1]
Di dalam agama Islam sebenarnya banyak paham tentang kosmologi ini, diantaranya adalah kosmologi masysyai (peripatetik) yang dikembangkan oleh al-Kindi dan al-Farabi dan mencapai puncaknya melalui Ibn Sinna. Orang barat menyebutnya “filsafat Wujud”. Pada kosmologi syiah Ismailiyah ini populer dengan dunia Korpus Jabir, Ikhwan al-Safa populer dengan nuansa Phytagoras, korelasi kosmologi ini berhubungan dengan siklus kenabian dan imamah (keimaman), pembahasan kosmologisnya rumit. Terakhir, ada juga yang dikelompokkan dengan kosmologi sufi, diantaranya adalah Muhyi al-Din Ibnu Arabi, yang mengintegrasikan unsur-unsur Hermeneutik, Phytagorean dan Neoplatonik ke dalam ajaran-ajaran yang bersumber pada makna Al Quran.
Firman Allah : QS. At-Thaha [20]: 2-6.[2]
“Kami tidak menurunkan Al Quran kepadamu agar menjadi susah, tetapi sebagai peringatan bagi orang-orang yang takut (kepada Allah). Al Quran diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit-langit yang tinggi, yaitu (Tuhan) Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Singgasana (al Arsy). Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit dan di bumi, semua yang di antara keduanya, dan semua yang di bawah tanah.” (QS. At Thaha [20]: 2-6).
Pandangan Kosmologi Sufi Islam Menurut Ibn ‘Arabi
Dalam tulisan-tulisannya, ilmu dan nama-nama serta sifat-sifat Allah (al-Ashma Wa al-Shifat) berfungsi sebagai landasan bagi elaborasi ilmu kosmos, betapa keseluruhan sifat kosmos ini merupakan gema dari berbagai nama dan sifat Allah dan betapa masing-masing tingkat eksistensi kosmis itu sendiri adalah kehadiran Ilahi (al-Hadarat al-Illahiyat al-Khams) yang bermula dari Dzat Allah (al-Lahut), melalui alam nama-nama alam dan sifat-sifat (al-Lahut), alam malaikat utama (al-Jabarut), alam malaikat lebih rendah, subtil (al Malakut) dan alam-alam materi (al-Mulk).
Ibn Arabi menjelaskan tingkatan-tingkatan realitas kosmis berdasarkan ajarannya yang terkenal “Wahdat al-Wujud” (kesatuan wujud yang transenden), yang menyatakan bahwa sesungguhnya hanya satu realitas wujud, satu realitas dan semua yang lain hanyalah refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah di atas cermin noneksistensi.[3]
Pengikut ajaran Ibn Arabi ini diantaranya Shadr al-Din al-Qunawi, Abd al-Karim al-Jilli dan Sayid Haidar al-Amuli. Di Indonesia juga ada yang sepaham dengan ini yaitu Syeikh Siti Jenar. Ajaran yang saya sebut di atas ada dituliskan juga pada kitab Wirid hidayat Jati/Serat Centini-nya Raden Ngabehi Ranggawarsita.[4]
Makna spiritual dari kosmologi Islam adalah memberikan pengetahuan tentang kosmos agar dapat memahami keburaman realitas kosmos menjadi transparan, dari tirai menuju sarana penyingkapan realitas Ilahi, yang diselubungi dan disingkapkan kosmos oleh hakikatnya sendiri. Tujuannya agar manusia memahami penjara eksistensi dan mengungkapkan keesaan Ilahi (al-Tauhid) yang tercermin dalam alam keragaman.
Akan tetapi, spiritualitas Islam memberikan sarana kepada manusia yang hakikat bathinnya sedemikian rupa sehingga membuat mereka harus membuka halaman-halaman kosmis, yang digambarkan oleh al-Quran:
“(yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran-lembaran kertas.” (Q.S. Al Anbiya [21]: 104).
Spiritualitas Islam memunculkan “kesadaran penciptaan” yang menjadikan manusia mampu melihat teofani nama-nama dan sifat-sifat Allah dalam alam dan mendengar –dari terbangnya burung ke angkasa– doa mahluk yang ditujukan ke singgasana Ilahi, seperti yang disebut Al Quran: QS. An Nur [24]:41.
“Tidaklah kamu tahu bahwasannya Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi, (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbih-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nur [24]:41).[5]
Bagaimana yang Terbatas “Melihat” yang Tak Terbatas? (Dalam Pandangan Ibn ‘Arabi)
Kosmos adalah Dia/Bukan Dia. Menurut Ibn Arabi wujud adalah satu esensinya dan banyak cara untuk menyingkap dirinya. Ia tidak dapat dibandingkan dengan semua entitas yang ada dan diserupakan kepada setiap mahluk. Dan hakikat wujud, keesaan dan kejamakannya menemukan ekspresinya dalam kesempurnaan manusia sempurna.[6]
Dalam keesaan dan kejamakannya, wujud dapat dikatakan memiliki kesempurnaan. Pertama ditampilkan melalui ketidaksebandingan Esensi Tuhan, yang kedua oleh keserupaan nama-nama Tuhan. Oleh karena itu, dalam konteks kesempurnaan esensial manusia sempurna, al-Quran mengatakan bahwa “Tidak ada pemisahan antara Rosul Tuhan (QS. 2:285). Dari kesempurnaan aksidental mereka, al-Quran menyatakan bahwa “Tuhan mengutus para nabi dan Rosul sesuai dengan tingkataan mutunya." (QS. 2:253).
Pendeknya manusia sempurna tetap berada dalam esensinya, yang tidak lain selain wujud itu sendiri. Pada saat yang sama ia senantiasa selalu mengalami transformasi dan transmutasi dengan mendorong Penyingkapan Diri Tuhan dan memanifestasikan sifat-sifat Tuhan dalam keberagaman kosmis yang tiada akhir. Hati (qalb) manusia sempurna mengalami fluktuasi yang tak pernah henti (qalb, taqallub), sejak itu ia adalah wadah batini tempat mereka memahami penyingkapan diri Tuhan. Tuhan menciptakan alam untuk menunjukkan kesempurnaan diri-Nya. Seperti disebut dalam Hadits Qudsi :
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku ingin diketahui , oleh karena itu, Aku ciptakan mahluk agar Aku dapat diketahui.”
Dengan kata lain, melalui kosmos wujud menyingkap kemungkinan tak terbatas yang tersembunyi di dalam diri-Nya sendiri. Tetapi, itu hanya dilakukan oleh manusia sempurna saja untuk memanifestasikan bentuk Tuhan itu sendiri. Syekh sebenarnya hanya menjelaskan bukan pada ontologi saja, tapi juga pada antropologi, yakni menjelaskan tentang sifat manusia sempurna dan bagaimana kesempurnaan dapat dicapai.[7]
Dengan berbekal pemahaman rasional mengenai “Dia/Bukan Dia” tidak akan mampu mengantar ke dunia cahaya. Dunia imajinasi tidak dapat di transformasikan ke dalam bentuk penyaksian penyingkapan diri wujud tanpa bimbingan dari Rosul, Nabi ataupun para Wali. Jadi, hakikat puncak wujud adalah melampaui yang tak terbatas dan selalu berada di dalam. Di dalam kesebandingannya wujud adalah satu dzat dengan yang absolut, namun dalam keserupaannya, wujud menjelmakan dirinya melalui pluralitas kongkrit yang ada dalam kosmos. Dzat yang non-fenomenal selamanya tetap tak dapat dibandingkan, namun dia membawa fenomenal ke dalam eksistensi melalui sebuah rahmat, yakni dilimpahkan langsung kepada segala sesuatu yang memiliki potensi eksis.
Ketidak sebandingan Tuhan tumbuh dari persepsi keberbedaan dan tidak nyata. Sedangkan, sikap yang mempertegas keserupaan muncul dari pemahaman yang menonjolkan keserupaan dengan realitas. Menurut al-Haqq, keserupaan ditonjolkan, karena dipandang dari al-Haqq, tidak ada istilah “yang lain”, juga tidak ada istilah “jarak” – “Allah bersamamu dimanapun engkau berada” (QS. 4: 57).
Kebahagiaan, yakni kondisi yang dinikmati orang surga, adalah identik dengan kedekatan dengan Tuhan. Untuk dekat dengan Tuhan maka berarti mengakui kualitas-kualitas Tuhan sebagaimana adanya. Ketersiksaan identik dengan neraka. Untuk jauh dengan Tuhan adalah menghindari mengaktualisasikan bentuk Tuhan. Untuk tetap berjarak maka tekankan bentuk ketaksebandingan. Jika ingin bahagia, imajinasi mereka harus melampaui akalnya, menyesuaikan bentuk akal. Manusi secara potensial adalah bentuk utuh Tuhan.[8] Kesempurnaan dicapai ketika potensinya teraktualisasi. Perwujudannya adalah bentuk “kebajikan” dan “nilai” yang dikaji dalam ilmu ahlak. Nah, karena kualitas Tuhan tidak dapat dikenali melalui ketidaksebandingan-Nya maka diperlukan campur tangan wahyu (agar aktualisasi atribut Tuhan sesuai dengan porsi yang tepat untuk menjelaskan sifat dan tujuan kegiatan etika yang ditekankan).
Kesimpulan
Jadi bagaimana bentuk Tuhan itu? Menurut Ibn Arabi, segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah “tanda” Tuhan. Karena segala sesuatu itu merefleksikan Al Haqq. Manusia merupakan tanda Tuhan, karena mereka ada andilnya terhadap atribut al Haqq. Ini membuktikan bahwa manusia bisa mengetahui segala sesuatu. Firman Allah : “Allah mengajarkan kepada Adam semua nama-nama.” (QS. 2:31).
Arkeripe kognitif (dan ontologis) fundamental mereka adalah Allah sendiri, tidak ada atribut khusus Tuhan. Kesempurnaan manusia melibatkan atribut itu, seperti sifat mulia yang sama dengan indah, tetapi, sebagaimana sifat Tuhan, atribut-atribut ini disusun menurut hirarki tertentu, dengan nama-nama rahmat yang didahulukan dibandingkan murka, nama-nama keserupaan lebih fundamental dari pada nama-nama ketidaksebandingannya. Kiranya hanya sedikit yang kami pahami tentang kosmologi sufi Islam pandangan Ibn ‘Arabi, moga ada manfaatnya.
Daftar Pustaka
- Bagus, Lorens, Kamus Filsafat
- Kitab suci al-Qur’an al-Karim (al-Qur’an digital versi 2,1)
- Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita. Jakarta: UI Press, 1989
- Seyyed Hossein Nasr (Editor). Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam. Jakarta: Penerbit Mizan, 2002
[1] Lorens Bagus, Kamus Filsafat
[2] Seyyed Hossein Nasr (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Jakarta: Penerbit Mizan, , 2002
[3] Seyyed Hossein Nasr (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Jakarta: Penerbit Mizan, , 2002
[4] Simuh, Mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita, Jakarta: UI Press, , 1989
[5] Kitab suci al-Qur’an al-Karim (al-Qur’an digital versi 2,1)
[6] Seyyed Hossein Nasr (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Jakarta: Penerbit Mizan, , 2002
[7] Seyyed Hossein Nasr (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Jakarta: Penerbit Mizan, , 2002
[8] Seyyed Hossein Nasr (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Jakarta: Penerbit Mizan, , 2002
0 komentar:
Posting Komentar