Sabtu, 23 Juni 2012

Positivisem Auguste Comte

Pengertian
Positivisme berasal dari kata "positif". Kata "positif" disini sama artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta.[1] Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak oleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.[2] Kemudian, filsafat pun harus meneladani contoh itu. Oleh karena itu pulalah, positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menanyakan "hakikat" benda-benda atau "penyebab yang sebenarnya", bagi positivisme, tidaklah mempunyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan yang beragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja, berbeda dengan empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan. Positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut. Ia hanyalah mengandalkan fakta-fakta belaka.

Biografi
Filsafat positivisme diantarkan oleh August Comte (1798-1857), yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang bernama Katolik. Karyanya yang pokok, yang sistematis, adalah Cours de philosophie positive, atau “ kursus tentang filsafat positif” (1830-1842), yang diterbitkan 6 jilid.[3] Beberapa tahun lamanya menjadi sekretaris pada seorang bangsawan perancis yang bernama Henri de saint-Simont.[4] Orang ini giat dalam bidang social berhubungan dengan problem-problem baru yang muncul pada waktu itu karena lahirnya industri. Comte juga sangat dipengaruhi oleh pemikiran Saint-simont. Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam 3 tahap atau 3 zaman, yaitu : zaman teologis, zaman metafisis dan zaman ilmiah atau zaman positif. Perkembangan zaman tersebut itu berlaku baik bagi perkembangan pemikira perorangan, maupun bagi perkembangan pemikiran seluruh umat manusia.


Hukum Tiga Tahap
Pokok ajaran Comte yang terkenal adalah tanggapannya bahwa perkembangan pengetahuan manusia, baik manusia perorangan maupun umat manusia sebagai keseluruhan, meliputi tiga zaman.[5] Bagi Comte perkembangan menurut tiga jaman ini merupakan suatu hokum yang tetap. Ketiga zaman ini masing-masing adalah jaman teologis, jaman metafisis, dan jaman ilmiah atau positif.
  1. Pada jaman teologis manusia percaya bahwa dibelakang gejala-gejala alam terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Kuasa-kuasa ini dianggap sebagai makhluk yang memilki rasio dan kehendak seperti manusia, tetapi orang percaya bahwa mereka berada pada tingkatan lebih tinggi daripada makhluk-makhluk insani yang biasa. Orang yakin, bahwa di belakang tiap kejadian tersirat suatu pernyataan kehendak yang secara khusus. Pada taraf pemikiran ini terdapat lagi 3 tahap[6], yaitu ; a) tahap yang paling bersahaja atau primitive, ketika orang menganggap bahwa segala benda berjiwa (animisme) ; b) tahap ketika orang menurunkan kelompok-kelompok hal-hal tertentu seluruhnya masing-masing diturunkannya dari suatu kekuatan adikodrati, yang melatar belakanginya sedemikina rupa, sehingga tiap kawasan gejala-gejala memiliki dewa-dewanya sendiri (politeisme) ; c) tahap yang tertnggi, ketika orang mengganti dewa yang bermaca-macam itu dengan satu tokoh tertnggi yaitu dalam monoteisme.
  2. Zaman yang kedua, yaitu zaman metafisika atau metafisis, kuasa-kuasa adikodrati dig anti dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang abstrak, seperti misalnya “kodrat” dan “penyebab”.[7] Arti lainnya yaitu dengan pengada-pengada yang lahiriah, yang kemudian dipersatukan dalam sesuatu yang bersifat umum, yang disebut alam dan yang dipandang sebagai asal segala penampakan atau gejala yang khusus.
  3. Zaman positif adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak haketkat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum-hukum kesamaan dan uraian yang terdapat pada fakta-fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya, yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya.

Seperti yang sudah dikatakn diatas, ,menurut Comte hokum tiga zaman ini bukan saja berlaku bagi perkembangan pengetahuan umat manusia seluruhnya, melainkan berlaku juga bagi manusia perorangan. Sebagai anak setiap manusia berada dalam zaman teologis, sebagai remaja ia memasuki zaman metafisis, dan sebagai orang dewasa ia mencapai zaman positif. Akhirnya, hokum tersebut berlaku juga untuk perkembangan tiap – tiap ilmu. Mula – mula suatu ilmu bersifat teologis, lalu berubah menjadi metafisis dan lama – lama mencapa kematangan metafisis.


Susunan ilmu pengetahuan
Menurut Comte tidak semua ilmu mencapai kematangan pada saat yang sama. Oleh karenanya menjadi mungkin melukiskan perkembangam ilmu pengetahuan berdasarkan rumitnya bahan yang dipelajari di dalamnya.[8] Urutan perkembangan ilmu-ilmu berlangsung demikian rupa sehingga yang satu selalu mengandaikan semua ilmu yang mendahuluinya. Dengan demikian Comte membedakan enam ilmu pokok : matematika, astronomi, fisika, kimia, biologi dan sosiologi. Semua ilmu lain dapat dijabarkan kepada salah dari keenam ilmu tersebut.
Matematika merupakan ilmu yang paling fundamental dan menjadi pembantu bagi semua ilmu lainnya. Selain relasi-relasi matematis, astronomi membicarakan juga gerak. Dalam fisika ditambah lagi penelitian materi. Biologi melangkan lebih jauh lagi dengan membicarakan kehidupan. Akhirnya sosiologi mengambil sebagai obyek penyelidikannya gejala-gejala kemasyarakatan yang terdapat pada makhluk-makhluk yang hidup.[9] Dengan demikian sosiologi merupakan puncak dan penghabisan untuk usaha ilmiah seluruhnya. Sosiologi ( istilah ini untuk pertama kali dalam sejarah dibentuk oleh Comte sendiri) baru dapat berkembang sesudah ilmu-ilmu lain telah mencapai kematangannya. Karena itulah Comte beranggapan bahwa selaku pencipta ilmu sosiologi ia menghantar ilmu pengetahuan tentnag hukum-hukum yang menguasai masyarakat mengadakan susunan masayarakat yang lebih sempurna.[10]

Kesimpulan
Dengan demikian, positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu. yang di luar fakta atau kenyataan dikesam­pingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan. 
Menurut Auguste Comte, indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas.
Positivisme bukanlah suatu aliran yang khas berdiri sendiri. la hanya menyempurnakan empirisme dan rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen clan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan empirisme plus rasionalisme.


Daftar Pustaka
  1. Dr. Harun Hadiwijono,1990. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius, Yogyakarta
  2. Prof. K . Bertens, 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta
  3. Drs. Atang Abdul Hakim, M.A dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si, 2008. Filsafat Umum, Pusataka Setia, Bandung.


[1] Filsafat umum, Dr. Atang Abdul Hakim, M. A. dan Drs. Beni Ahmad Saebani, M. Si. Pusataka setia Bandung, cet-1 2008
[2] Ibid
[3] Sari sejarah filsafat barat 2, Dr.Harun Hadwijono, kanisius; 1980
[4] Ringkasan sejarah Filsafat, Prof. K. Bertens,kanisius cet- 15 1998
[5] ibid
[6] Sari sejarah filsafat barat 2, Dr. Harun hadiwijono, kanisius 1980
[7] Ringkasan sejarah filsafat, Prof. K . Bertens, kanisius 1998
[8] Ringkasan sejarah filsafat, Prof. K. Bertens, kanisius 1998
[9] ibid
[10] ibid

0 komentar:

Posting Komentar