Disusun Oleh:
Ahmad Suhaimi
(1110033100040)
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 2012 M
Pendahuluan
Bahwa Falsafah sudah menjadi sebuah tradisi baru, corak pemikiran para peminatnya (failasuf) secara garis wilayah terbagi menjadi dua, yaitu di Timur dan di Barat. Falsafah Islam pertama lahir di bagian Timur atau kawasan zajirah Arab, yaitu ketika Abu Ya`kub ibn Ishaq al-Kindi (al-Kindi) merumuskan falsafah secara sistematis yang kemudian dia dikenal dengan sebutan “Failasuf Arab”. Corak pemikirannya bersipat Aristotelian dan banyak karya-karya Aristo yang dialih bahasakan kedalam bahasa Arab seperti mengenai logika, struktur ilmu pengetahuan, kosmologi dan risalah tentang akal.
Ibn Rusyd merupakan tokoh yang sangat fanatik kepada pemikirannya Aristoteles, semisal ia sangat mengagumi hasil karya Aristo yaitu ilmu mantik yang ia menanggapinya sebagai suatu karya maha agung yang membawa manusia kepada jalan kebenaran.
Begitu juga Abu Nasr al-Farabi (al-Farabi: 258 H/870 M). Ia merupakan penerus dari perjuangan al-Kindi, al-Farabi dinobatkan sebagai “al-Mu`allim al-Tsani” (guru kedua) karena bagi mereka Aristoteles dianggap sebagai “al-Mu`allim al Awwal” (guru pertama). Jabatan itu di nisbatkan kepadanya dikarenakan al-Farabi merupakan peletak logika dan metafisika Islam. Selamat menyimak makalah kajian persamaan dan perbedaan falsafah Islam di Barat dan falsafah Islam di Timur yang simpel dan ringkas ini, semoga ada manfaatnya.
Pembahasan
1. Falsafah Islam di Barat
1. Falsafah Islam di Barat
Pergolakan pemikiran dikalangan umat Islam ternyata tidak hanya sebatas didaerah kelahirannya, akan tetapi di daerah perantauan pun mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Terbukti dengan lahirnya tokoh pemikir terkemuka dibidang kajian falsafah dari daratan Cordova Spanyol. Ilmu falsafah berkembang di spanyol dirintis oleh Bin Massarroh (883-931 H). berkembang pesat sesudah zaman Umawiyah II. Failasuf yang terkenal Ibn Bajjah dengan karyanya The Rule of Sollitary . Ibn Thufail (1105-1185 M) dengan keryanya Hayy bin Yaqzhan, serta Ibn Rusyd dengan karyanya Tahafut al-Tahafut.[1]
Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd (ibn Rusyd: 520H/1126M) yang merupakan pemikir yang sangat Aristotelian. Kritik yang di usungnya dialamatkan kepada para pemikir Islam di bagian Timur semisal al-Kindi, al-Farabi dan Ibn Sina atas pemikirannya yang mencampurbaurkan ajaran-ajaran dari unsur Platonis, Neo-Platonis dan Aristotelian. Hal demikian itu dikarenakan bahwa ibn Rusyd merupakan tokoh yang sangat fanatik kepada pemikirannya Aristoteles, semisal ia sangat mengagumi hasil karya Aristo yaitu ilmu mantik yang ia menanggapinya sebagai suatu karya maha agung yang membawa manusia kepada jalan kebenaran.
Sama halnya dengan para failasuf timur sebelumnya, ibn Rusyd juga membuka wacana konseptual tentang keserasian antara falsafah dengan agama. Hal demikian dilakukannya kerena banyaknya serangan-serangan pedas yang dilakukan oleh para kaum theology dan faqih. Dia menyadari bahwa telah menjadi tugasnya lah membela para failasuf dalam menangkis serangan-serangan keras itu, terutama setelah mereka dikutuk oleh al-Ghazali dalam karyanya ketidak logisan para failasuf risalah ibn Rusyd yang berjudul: Fashl al-Maqal Fi Ma Bain al-Hikmah wa al Syari`ah Minal Ittishal merupakan suatu pembelaan bagi falsafah sepanjang falsafah tersebut serasi dengan agama.[2] Kemudian disebutkan pula bahwa ibn Rusyd tetap dinilai sebagai failasuf yang paham keagamaannya paling mendekati golongan ortodoks.[3]
2. Falsafah Islam di Timur
2. Falsafah Islam di Timur
Setelah dari Barat kita beralih ke Timur. Dunia intelektual Islam memiliki sudut keistimewaan baik itu bagi umat Islam sendiri maupun bagi orang-orang yang berasal dari non-Islam yang dengan semangat mempelajarinya (missioneris). Berawal dari gelombang Hellenistis yang merupakan gerbang awal lahirnya Falsafah Islam yang diawali dengan kegiatan penerjemahan kitab-kitab Yunani kuno yang telah beralih bahasa kebahasa Suryani ke dalam bahasa Arab yaitu pada zaman kekuasaan `Abbasiyah yang dipimpin oleh al-Ma`mun, dimana kegiatan penerjemahan besar-besaran itu dilakukan di wisma kearifan (Bait al-Hikmah) sebagai sentral kajian ilmiah, dari tradisi kajian inilah lahir para failasuf terkemuka seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, ibn Sina (di Timur), ibn Bajjah, ibn Tufail dan ibn Rusyd (di Barat).[4] Namun demikian, gelombang Hellenisme tersebut merupakan suatu pengalaman yang tercampur antara manfaat dan madlarat bagi kaum muslimin.[5]
Kemudian, ketika pemikiran Islam khususnya Falsafah sudah menjadi sebuah tradisi baru, corak pemikiran para peminatnya (failasuf) secara garis wilayah terbagi menjadi dua, yaitu di Timur dan di Barat. Falsafah Islam pertama lahir di bagian Timur atau kawasan zajirah Arab, yaitu ketika Abu Ya`kub ibn Ishaq al-Kindi (al-Kindi) merumuskan falsafah secara sistematis yang kemudian dia dikenal dengan sebutan “Failasuf Arab”. Corak pemikirannya bersipat Aristotelian dan banyak karya-karya Aristo yang dialih bahasakan kedalam bahasa Arab seperti mengenai logika, struktur ilmu pengetahuan, kosmologi dan risalah tentang akal.
Al-Kindī pun mencoba untuk merumuskan suatu sistem keselarasan antara agama dan falsafah, agama yang bersipat ilahiyah melalui jalan wahyu diartikan sebagai sistem sosial yang dibuat oleh penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan non-empirik yang dipercaya dan didayagunakan untuk mecapi keselamatan bagi penganutnya.[6] Sedangkan falsafah arah kebenarannya melalui rule logika dan rasio. Akan tetapi bagi Al-Kindī keduanya mengarah kepada pencarian kebenaran dengan kata lain keduanya sama-sama mengarah kepada kebenaran, lebih lanjut dia menegaskan bahwa kebenaran falsafah berlandaskan akal pikiran sedangkan kebenaran agama derlandaskan kepada wahyu.[7]
Tradisi Falsafah Islam di Timur juga melahirkan sosok yang sangat monumental yang berpengaruh di dunia intelektual baik di Timur maupun di Barat, yaitu Abu Nasr al-Farabi (al-Farabi: 258 H/870 M). Ia merupakan penerus dari perjuangan al-Kindi, al-Farabi dinobatkan sebagai “al-Mu`allim al-Tsani” (guru kedua) karena bagi mereka Aristoteles dianggap sebagai “al-Mu`allim al-Awwal” (guru pertama). Jabatan itu di nisbatkan kepadanya dikarenakan al-Farabi merupakan peletak logika dan metafisika Islam.
Pemikir Islam yang muncul selanjutnya adalah Abu `Ali al-Husayn ibn `Abdullah ibn Sina (Ibnu Sina) yang merupakan penerus dari pemikiran al-Farabi. Hal demikian dikarenakan bahwa ketika Ibn Sina mencoba untuk membaca karya Aristo sebanyak 40 kali tetapi beliau tidak paham, akan tetapi berkat risalah pendek yang ditulis oleh al- Farabi beliau dapat memahami alur pemikirannya.
Ibnu Sina merupakan peletak dasar bangunan Neo-Platonis atas dasar kosmologi Aristotelian, yang menjelaskan pembagian alam menurut sistem emanasi. Ia juga merupakan failasuf muslim pertama yang mencoba untuk menjelaskan konsep rasionalisasi dari kenabian, yang baginya sosok seorang Nabi itu dimungkinkan adanya.[8]
Dari mulai al-Kindi sampai ibnu Sina, memiliki kesinambungan yang sangat jelas antara satu dengan yang lainnya. Bahwa yang satu mempengaruhi corak pemikiran Failasuf selanjutnya. Kemudian setelah itu muncul sosok pemikir ulung yang membantah struktur pengetahuan falsafah yaitu Abu Hamid ibnu Muhammad al-Ghazali (al-Ghazali: 505 H/1111 M). Ia mengkritik secara tajam para tokoh pemikir sebelumnya yaitu diantaranya Ibnu Sina. Sekalipun ia menghujat secara kritis Falsafah, akan tetapi kritikannya itu bernuansa Filosofis.
Kritik dari al-Ghazali itu bertujuan untun membela dan membangkitkan lagi semangat keagamaan bagi para umat muslim, dan jangan terlalu memfokuskan diri dalam kajian falsafah. Terbukti bahwa al-Ghazali mengarang sebuah kitab yang berjudul Tahafut al-Falalasifah dan dilanjutkan dengan mengarang kitab monumentalnya yaitu Ihya `Ulum al-Din.
Kesimpulan
Dari ulasan diatas dapat ditarik benang kesimpulan bahwa dalam wacana keintelektualan muslim khususnya falsafah itu sangatlah dinamis. satu sama lain saling berkesinambungan meski antara dimensi ruang dan waktunya sangatlah jauh berbeda. Dari kesinambungan tersebut pula lah dapat terlihat adanya letak titik persamaan dan perbedaan pemikiran satu dengan yang lainnya. Semisal persamaannya adalah mereka sama-sama mencoba untuk menyelaraskan pengetahuan falsafah dan pengetahuan agama meski dengan metode yang berbeda. Dalam titik perbedaannya dapat dilihat dari paham aliran yang mereka anut, semisal para failasuf Islam di Timur menganut ajaran yang dualism yaitu Neo-Plotinus sekaligus Aristotelian, sedangkan failasuf Islam yang berada dikawasan Barat memegang satu madzhab yaitu Aristotelian murni.
[1] M. M, Syarif. Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan. 1985[2] M.M, Syarif, “Para Filosof Muslim”, (Bandung: Mizan. 1985), h.204.[3] Nurcholis Madjid, “Khazanah Intelektual Islam”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.37[4] Abuddin Nata, “Ilmu Kalām, Filsafat, dan Tasawuf”, (Jakarta: Raja Grapindo, 1998), h.54.[5] Nurcholis Madjid, “Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h.24.
[6] Hendropuspito, “Sosiologi Agama”, (Yogyakarta: Kanisius,1983), h. 34.
[7] M.M, Syarif, “Para Filosof Muslim” (Bandung: Mizan. 1985), h.17 .
[8] Nurcholis Madjid, “Khazanah Intelektual Islam” (Jakarta: Bulan Bintang, 1994)
0 komentar:
Posting Komentar