Jumat, 06 Juli 2012

Mengenal Lebih Dekat Tarekat Jalaluddin Rummi

Pendahuluan
Tarekat yang secara harfiah berarti jalan kecil, memiliki dua pengertian yang berbeda, yang pertama tarekat dimengerti sebagai perjalanan spiritual menuju Tuhan dalam konteks ini kita berbicara tentang maqamat, yang kedua tarekat dipahami sebagai “persaudaraan” atau ordo spiritual, yang biasanya merupakan perkumulan spiritual yang dipimpin oleh seorang guru (mursyd) dan para khalifahnya. Dalam pengertian inilah yang dimaksud tarekat Maulawiyah.

Nama Mawlawiyah berasal dari kata “Mawlana” (guru kami) yaitu gelar yang diberikan oleh murid-muridnya kepada Muhammad Jalal al-Din Rumi, seorang sufi penyair terbesar sepanjang masa. Tarekat ini didirikan 15 tahun sebelum wafatnya. Walaupun tarekat ini tidak terlalu besardibanding dengan tarekat Naqsyabandi tetapi tarekat ini masih tetap hidup hingga sekarang.[1]

Riwayat Hidup Jalaluddin Rumi (1207 M-1273 M)
Jalauddin Rumi lahir di Balkh (Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm, keturunan Ali bin Abi Thalib. Ayahnya seorang dai terkenal, ahli Fiqh, serta seorang sufi.

Sekitar tahun 616 H/ 1219 M, Bangsa Mongol hampir memasuki Balkh, rumi dan keluarganya diam-diam pergi untuk beribadah haji namun tidak untuk kembali, setelah menjalankan ibadah haji Baha Walad menuju Asia kecil (Konya/ Turki), di sini Rumi yang berusia 18 tahun menikah dengan Jawhar Khatun, putrid Lala Syarif al-Din.[2] Keluarga Rumi diterima dengan baik oleh penguasa Saljuk dan ayahnya  dijadikan guru spiritualnya bahkan sang penguasa memberi gelar kehormatan sebagai “Sultan Al-Ulama”. Pada tahun 1230 Baha’ al-Din Walad meninggal dunia.

Setelah kematian ayahnya Rumi yang berusia 20 tahun menggantikan posisi ayahnya sebagai sebagai penasihat para ulama Konya dan murid-murid ayahnya. Kurang lebih satu tahun sepeninggalan ayahnya salah satu murid Baha al-Din Walad, Burhan al-Din Muhaqqiq dari Tirmidz tiba di Konya dan memberikan pendidikan lanjutan untuknya, sehingga Rumi melanjutkan pendidikannya di Aleppo . dari Aleppo Rumi pindah ke Damaskus dan tinggal di Madrasah Maqdisiyah dan dapat bercaka-cakap dengan tokoh besar.

Pada tahun 1236 Rumi kembali ke Konya dan menyibukkan dirinya dengan menunttut ilmu dan memberikan bimbingan spiritual sampai gurunya Burhan al-Din Walad meninggsl dunia, Rumi terus mengajar di Madrasa-I Khudavandgar, di mana ia menarik murid-murid yang penuh rasa ingin tahu dari tiap penjuru kehadapannya.[3]

Selama bertahun-tahun Rumi menikmati popularitasnya yang tinggi dan menempati posisi yang sangat dihormati sebagai seorang pemimpin dan sarjan Islam di Konya sampai pada saat perjumpaan dengan Syams al-Din Tabrizi pada tahun 1244.[4] perjumpaan ini ternyata telah mengubah hidup Rumni dari seorang teolog terkemuka menjadi seorang penyair mistik yang sangat terkemuka.

Hasratku pada Sang Kekasih telah membawaku terbang  melintasi
samudera ilmu dan keluasan al-Qur’an. Aku menjadi gila.

Kutelusuri bentangan sajadah dan masjid dengan segenap hasrat
dan kekhusyukan. Kukenakan pakaian pertapa untuk memperkaya kebajikan.

Cinta menghampiriku, dan berkata ”Wahai sang Guru, lepaskan dirimu!
Mengapa kau terp[aut pada sajadah? Tidakkah kau ingin hatimmu
bergetar di hadapan-Ku! Tidakkah kau ingin melampaui pengetahuan
dengan penglihatan? Maka tundukan kepalamu.

Jika kau seorang pecundang, berikan keadilan itu kepada para pengacau.
Jika kau seorang yang baik hati lagi jujur, mengapa kau sembunyikan
dirimu di balik topeng? (D 26494-08).[5]

Begitu kuat pesona kepribadian Syams sehingga Rumi memillih untuk meninggalkan kegiatan-kegiatannya sebagai guru dan da’I profesional untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Syams dan menjadi muridnya. Hubungan erat diantara keduanya ini telah menimbulkan kecemburuan antara murid-murid seiritual Rumi, sehingga memaksa Syams untuk meninggalkan Rumi yang tinggal 16 bulan menuju Damaskus. Perpisahan ini begitu menyakitkan untuk Rumi sehingga memaksa kembali Syams agar kembali kepadanya, akhirnya Syams pun kembali dan melanjutkan spiritualnya dengan Rumi, dan akibatnya apa yang telah terjadi sebelumnya terulang lagi kecemburuan antara murid-murid Rumi terhadap Syams yang menyebabkan Syams harus pergi kembali dan tidak dapat ditemukan lagi, Rumi telah mencoba mencarinya ke Damaskus namun tidak jua ditemukan akhirnya Rumi kembali ke Konya dan mendirikan tarekatnya sendiri yakni tarekat Mawlawiyah dan kembali kepada  murid-muridnya. Hingga 15 tahun setelah itu kondisi kesehatan Rumi menurun dan akhirnya wafat pada tanggal 16 Desember 1273 di Kota Konya.[6]

Karya-karya Jalaluddin Rumi
Karya-karya utama Rumi adalah Diwan-i Syams-i Tabrizi yang memuat lebih dari 40.000 syair dan Matsnawi, sekitar 25.000 syair di samping kumpulan-kumpulan hikmah dan surat-suratnya.

Diwan (Kumpula syair) terdiri dari kurang lebih 3.230 ghazal, yang jumlah keseluruhannya mencapai 35.000 syair, 44 ta’rifat, sebeuah bentuk puisi yang terdiri dari dua atau lebih ghazal, yang seluruhnya berjumlah 1.700 syair dan Ruba’iyyat (sajak-sajak yang terdiri dari empat baris).. Diwan lebih mencakup keseluruhan syair Rumi di banding Matsnawi, yang disusun dalam rentang waktu sejak kedatangan Syams di Konya hingga menjelang akhir hayat Rumi.

Tidak seperti syair-syair yang panjang-panjang dari para sufi sebelumnya, Matsnawi merupakan kumpulan dari serakan anekdot-anekdot serta kisah-kisah dari berbagai sumber, baik dari al-Qur’an atau pun cerita humor sehari-hari. Masing-masing kisah memiliki  muatannya sendiri-sendiri, yang mengilustrasikan titik persoalan-persoalan tertentu. Persoalan moral biasanya diilustrasikan secara lebih detil, namun yang lebih utama dari anekdotyang diilustrasikan lebih berkaitan dengan keseluruhan ajaran Islam, dengan menekankan pada dimensi rohani atau interpretasi Sufistik.

Sebagian besar syair Rumi dalm Diwan mempresentasikan pengalaman-pengalaman atau maqam-maqam spiritual tertentu, seperti persatuan dengan Tuhan atau pun perpisahan dengan-Nya. Semua itu dilukiskannya secara selaras melalui symbol-simbol dan perumpamaan-perumpamaan. Meskipun tiap halaman Diwan mengandung muatan ajaran, tetapi sebenarnya ia merupakan pengkristalan kumpulan pengalaman pribadi Rumi dalam menapaki jalan menuju Tuhan.

Sebaliknya, Matsnawi mempresentasikan rasa spiritual yang tenang dalam memaparkan berbagai dimensi kehidupan dan latihan-latihan rohani. Ia pun mampu mengantarkan orang untuk duduk dan merenung tentang makna kehidupan.
                       
Ketika al-Qur’an diwahyukan, orang-orang kafir saling
Mencibir.
Mereka berkata: “ia hanyalah cerita dusta dan dongeng rekaan semata. Tanpa
penyelidikan tanpa penelitian.
Anak kecil tahu itu, tiada lain hanyalah sebuah pernyataan tentang
penerimaan atau penolakan.” (M 4237-39)

Degan kata lain, “boleh saja kalian tidak mau menerima apa yang aku katakana, tetapi hendaknya kalian tahu bahwa kata-kataku seperti kata-kata Tuhan: membawa pesan keselamatan bagi seluruh umat manusia.”

Dalam sebagian besar tulisan Rumi, secara jelas ditunjukan bahwa dia tidak semata-mata hendak memberikan penjelasan, tetapi arahan. Syair-syair yang ia gubah, khotbah-khotbah yang ia sampaikan, tidak sekedar untuk memberikan pemahaman berkaitan dengan ajaran-ajaran Islam, tidak juga bermaksud menjelaskan apa itu sufisme, tetapi sesungguhnya ia ingin menggugah kesadaran manusia bahwa sebagai makhluk, manusia telah terikat olehkodrat keterciptaannya untuk selalu mengarahkan seluruh hidupnya pada Tuhandan sepenuhnya hanya menghambakan diri pada-Nya.[7]

Pokok ajaran Jalaluddin Rumi
Aaran-ajaran Rumi dapat di rangkum ke dalam trilogy metafisik, yaitu Tuhan, Alam, dan Manusia.

Ajaran Rumi tentang Tuhan
Bahwa Tuhan adalah “Yang Awal, Yang Akhir, Yang Lahir, Yang Batin. Tuhan Yang Awal bagi Rumi berarti bahwa Ia adalah sumber yang dari-Nya segala sesuatu berasal.

Nasib manusia diibaratkan sebuah seruling yang talah terpisahkan jauh dari induknya, tak heran kalau suara seruling yang dalam tarekat Mawlawi merupakan salah satu alat musik yang penting dalam sama’ mereka. Tuhan sebagai Yang Akhir diartikan sebagai tempat kembali segala yang ada di dunia ini.

Tuhan sebagai Yang Lahir, bagi Rumi alam fisik ini adalah Tuhan dalam penyamaran. Ia adalah fenomena memberi isyarat pada realitas yang lebih dalam.dunia yang lahir adalah fenomena yang menyimpan “noumena” realitas yang sejati. Dengan demikian dunia lahir adalah petunjuk bagi adanya yang batin, bagi Rumi tak mungkin ada yang lahir tanpa ada yan batin, yang lahir merupakan jalan menuju realitas yang tersembunyi di dalamnya. Dengan demikian Tuhan sebagai yang batin, adalah realitas yang lebih mendasar, untuk memahaminya kita memerlukan mata lain yang lebih peka.

Tiada salahnya aku berbicara tentang Cinta dan menerangkannya,
tapi malu melingkupiku manakala aku sampai pada Cinta itu sendiri. (M1112)

Cinta tak terjangkau oleh kata-kata dan pendengaran kita:
Cinta adalah lautan yang terukur kedalamannya

Cobalah kau hitung berapa banyak air di sungai?

Di hadapan lautan itu, tujuh sungai tiada arti. (M V 2731-32)

Cinta tidak dapatv ditemukan melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan,
buku-buku dan tulisan-tulisan.

Apa pun yang dikatakan orang (tentang Cinta), bukanlah jalan
para pecinta. (D 4182)

Apa pun yank au dengar dan katakana (tentang Cinta), kulit semata:
inti Cinta adalah sebuah rahasia yang tak terungkapkan. (D 2988)

Cukup! Sampai kapan kau akan terpancing pada lidah dan kata-kata?
Cinta memiliki begitu banyak tamsilan yang berada di seberang
kata-kata. (D4355)

Diam! Diamlah! Karena apa yang dikatakan orang tentang Cinta
tak dapat diterima: Tersembunyilah makna-makna karena begitu
banyak kata. (D 12073)

Seorang bertanya, “Apakah Cinta?” Jawabku, “Bertanyalah
tentang makna-maknanya.

Manakala kau menjadi sepertiku, kau akan tahu. Ketika Dia memanggilmu,
kau akan membaca kisahnya”. (D 290-50-51)

Oh kau yang telah mendengar pembicaraan tentang Cinta, tataplah Cinta!
Apalah arti pendengaran telinga disbanding dengan penglihatan
mata? (D 24681)

Apakah Cinta? Dahaga yang sempurna. Maka, biarkan aku bicara
tentang Air kehidupan. (D 17361)[8]

Ajaran Rumi tentang Alam
Bagi Rumi alam bukan benda mati begitu saja, sekalipun alam itu mati tapi berkat sentuhan Tuhan, maka ia menjadi makhluk yang hidup, bergerak penuh energi kea rah Tuhan yang Maha Baik dan Sempurna. Dengan kekuatan cinta yang dimilikinya alam kemudian berkembang dari tingkat yang rendah seperti mineral, ke tingkat lebih tinggi, seperti tumbuhan, dan hewan hingga mencapai tingkat manusia, setelah mencapai tingkat manusia ia akan terus melakukan pencarian dan pengembangan lebih lanjut pada tingkat imajinal dari spiritual hingga tujuannya bersatu dengan Tuhan tercapai.

“Seperti suami langit berputar mencari nafkah, sedangkan bumi,sang isteri, menerima apa yang dinafkahkan langit.
Ketika bumi kekeringan, maka langit memberi hujan atau embun,
ketika bumi kedinginan, maka langit memberinya kehangatan.
Demikianlah, bumi pun melahirkan anak-anaknya erat menjaga dan memelihara apa yang dilahirkannya itu.
“Andai mereka tidak punya kecerdasan,
mengapa mereka bertingkah laku seperti orang-orang cerdas.
Andai mereka tidak menikmati hubungan mereka berdua,
bagaimana mereka melangkah seperti kekasih.[9]

Oleh karena itu prilakukanlah mereka sebagai makhluk hidup yang bernyawa, cintailah mereka, niscaya mereka pun akan membalas dengan memberikan yang terbaik pada diri mereka.[10]

Tentang Manusia
Rumi memandang manusia adalah tujuan akhir penciptaan, kalau ala mini diibaratkan dengan pohon, maka manusia adalah buahnya, untuk apa pohon ditanam kalau bukan mengharap buah. Hadis qudsi mengatakan “Kalau bukan karena engkau, takkan Ku ciptakan alam semesta ini.”[11]

Selain itu manusia juga menempati posisi yang tinggi sebagai wakil-Nya di muka bumi.rumi pernah bersenandung “Karena kebun mawar telah musnah, kemana kah kita mencari semerbak mawar? Pada air mawar.”[12]karena Tuhan yang transenden tidak bias dilihat, maka pada diri manusialah ( Nabi/ Khalifah) kita bias menemukan kehadiran dan perwakilan-Nya. Berkat Nabi, maka pewahyuan menjadi mungkin dan melalui pewahyuan hal-hal gaib menjadi tersingkap.[13]

Ciri Tarekat Mawlawiyah
Sama’ dalam bentuk tarian berputar meskipun telah banyak di mainkan oleh tareka sufi tetapi telah menjadi cirri khas dasar bagi tarekatnya. Tarian suci ini dimainkan oleh para Darwish (fuqara’) dalam pertemuan-pertemuan atau majlis sebagai dukungan eksternal terhadap upacara-upacara (ritual mereka). Talat Sait dan Metin And, seorang Profesor terkemuka di Universitas Ankara, menggambarkan tarian suci ini sebagai berikut.[14]

“Tarian ini di mulai dengan membungkukan badan yang dimulai oleh para Darwisy kepada pemimpinnya untuk mendapat restu darinya. Padsa mulanya tangan mereka bersilang dan ditempelkan ke dadadengan posisi tangan mengecengkram bahu, lalu tangan mereka mulai terangkat. Kaki-kaki mereka yang telanjang mulai merapat, pada tahap awal mereka bergerak sangat lambat, namun secara perlahan tangan mereka meninggalkan bahu dan berangsur-angsur tangan mereka merentang lurus dan membentuk posisi horizontal. Tangan kanan mereka lalu menengadah dengan telapak tangan ke atas sedang tangan kiri diturun ke bawah.

Posisi tersebut secara simbolik menggambarkan pengaruh dari langit yang diterima dengan telapak tangan terbuka dari atas, diteruskan ke bawah menuju dunia oleh tangan yang lain. Kadang kala satu tangan di buka dan tangan lain menekan ke dada. Para Darwisy berputar-putar dengan bertumpu secara bergantian pada tumit, sedangkan kaki yang lainmngupayakan untuk berputar.

Mata mereka tampak sayu atau tertutup dan kepala mereka sedikit condong pada salah saqtu pundak. Semakin mereka mempercepat putaran, rok putih mereka seperti paying yang terbuka. Tariam ini dipimpin oleh Sama’ Zembasi (pemimpin Sama’)ia yang memberikan aba-aba dan tidak mengikuti tarian, Nasr mengatakan bahwa tarian Mawlawi dimuali dengan nostalgia dengan Tuhan, lalu berkembang sedikit demi sedikit menjadi keterbukaan limpahan rahmat dari surga, dan akhirnya menghasilkan fana’ dan penyatuan kedalam diri Sang Kebenara.”

Tari Mawlawi menyimbolkan batu nisan, jubahnya adalah perti jenazah, dan bajunya adalah kain kafan, seruling bukan saja merepresentasikan terompet mitologisuntuk menghidupkan kembali orang mati padahari kebangkitan, tapi juga menyimbolkan jiwa uang terpisah dari Tuhan, dan bertemu setelah ia dikosongkan dari diri dan diisi oleh jiwa Ilahi.[15]

Penutup
Demikianlah uraian tentang Rumi dan Tarekat Mawlawiyah yang dapat kelompok kami sajikan yang bersumber dari berbagai buku. Semoga bermanfaat untuk kita semua, khususnya dalam pelajaran Tasawuf pasca Ibn Arabi, dan mendapatkan pencerahan terdahap jalan menuju Tuhan kita semua, amin.
Atas segala kekurangannya kami mohon maaf, dan semoga pemakalah dapat memperbaikinya dilain kesempatan.

Daftar Pustaka
Mulyati, MA. Dr. Hj. Sri, Mengenal & MemahamiTarekat-tarekat Muktabarah Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011, Ed. 1, Cet. 4.
C. Chittick. William, Jalan Cinta Sang Sufi Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, Yogyakarta: Qalam, Ed. Baru, Cet. Ke-3.
Majeed S. Abdullah, penerjemah: Holid Anwar, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya Aforisme-aforisme Sufistik Jalaluddin Rumi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2001, Cet. Kedua.




[1] Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Maulawiyah Tarekat Kelahiran Turki, hlm. 321.
[2] Afzal Iqbal, Life and Works of Muhammad Jalal-ud-Din Rumi (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1974),h. 64.
[3] Menurut Sultan Walad, Rumi memiliki sekitar 10.000 pengikut pada waktu itu. Lihat Reza Arasteh, Rumi The Persian: Rebith in Creativity and Love (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1965), h. 28.
[4] Lihat Aflaki, Menaqib’l-Arfian, h. 20.
[5]William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi,hlm. 4.
[6] Alfaki, Manaqib’I’ Arifin, h. 86.
[7] William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, h. 11.
[8] Ibid.
[9] Rumi, The Mathnawi, 1, h. 10.
[10] Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah Tarekat Kelahiran Turki, h. 329.
[11] Hadis qudsi: Lawlaka wa lawlaka ma Khalaqtul-a’yan kullaha.
[12] Rumi: The Mathnawi, I, h. 39.
[13] Mulyadhi Kartanegara, Tarekat Mawlawiyah Tarekat Kelahiran Turki, h. 330.
[14] Ibid.
[15] Nicholson, Rumi Poet and Mystic (New York: Samuel Weiser, 1974), h. 31.




www.Presentasi Pasca Ibn 'Arabi_uinjkt_4_by Suhaimi-Jaya.com

0 komentar:

Posting Komentar