Ilmu Ushul Fiqih memiliki dua tema kajian yang utama, yakni; (1) menetapkan suatu hukum berdasarkan dalil; dan (2) menetapkan dalil bagi suatu hukum. Dengan demikian, ilmu Ushul Fiqih tidak dapat lepas dari dua aspek pembahasan, yakni dalil dan hukum.
Istilah dalil menurut pengertian bahasa mengandung beberapa makna, yakni: penunjuk, buku petunjuk, tanda atau alamat, daftar isi buku, bukti, dan saksi. Ringkasnya, dalil ialah penunjuk (petunjuk) kepada sesuatu, baik yang material (hissi) maupun yang non material (ma’nawi). (Rusli, 1999: 20)
Sedangkan secara istilah, para ulama ushul fiqih mengemukakan beberapa definisi, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Menurut Abd al-Wahhab al-Subki, dalil adalah sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan (orang) ---dengan menggunakan pikiran yang benar--- untuk mencapai objek informatif yang diinginkannya.
2. Menurut Al-Amidi, para ahli Ushul Fiqih biasa memberi definisi dalil dengan “sesuatu yang mungkin dapat mengantarkan [orang] kepada pengetahuan yang pasti menyangkut objek informatif”.
Berdasarkan pengertian di atas, Abdul Wahhab Khalaf, ketika membicarakan mashlahah menurut pandangan al-Thufi, menghitung adanya sembilan belas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah, Ijma’ Ummat, Ijma’ penduduk Madinah, Qiyas, Qaul Shahabi, al-Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab, al-Bara’ah al-Ashliyah, ‘Awa’id, al-Istiqra, Sadd al-Dzara’i, al-Istidlal, al-Istihsan, mengambil yang paling ringan, al-‘Ishmah, Ijma’ penduduk Kufah, Ijma’ Ahl al-Bait, dan Ijma’ Khalifah yang empat. Akan tetapi, umumnya para ulama biasa menempatkan sebelas dalil, yaitu: al-Quran, al-Sunnah, Ijma’, Qiyas, Qaul Shahabi, al Mashlahah al-Mursalah, al-Istishhab, Sadd al-Dzara’i, al-Istihsan, dan Syar’u Man Qablana.
Dalam hal ini, para ulama sepakat menempatkan al-Quran dan al-Sunnah sebagai dalil dan berbeda pendapat tentang dalil-dalil selebihnya; ada yang menerimanya sebagai dalil dan ada yang menolaknya; atau, ada yang menerima sebagiannya dan menolak yang selebihnya. (Rusli, 1999: 23)
Dalil-dalil yang tidak disepakati Membahas Dalil-Dalil Hukum yang menjadi dalil pendukung atau sebagai alat bantu untuk memahami sumber hukum dari al-Quran & Sunnah. Disebut juga dengan Metode istinbat, mencakup Istihsan, Istishhab dan sebagainya.
Dalil-dalil yang Tidak Disepakati
1. Istihsan
a. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi berasal dari kata إستحسن – يستحسن – إستحسانا yang berarti “mencari kebaikan”. Istihsan juga berarti “sesuatu yang dianggap baik”, diambil dari kata al-husnu (baik).
Secara terminologi, Imam Abu Hasan al-Karkhi mengatakan bahwa istihsan ialah “penetapan hukum dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang menghendaki dilakukannya penyimpangan itu.”
Dasar Istihsan: QS. al-Zumar: 17-18 disebutkan:
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya . Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk, mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
Rasul Saw juga bersabda: مارءاه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن
Terminologi ISTIHSAN ( إستحسان )
Ø DR. Wahbah al-Zuhaily mendefinisikan istihsan, yaitu “memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu”. Disebut juga istihsan qiyasi.
Pengertian Qiyas jali didasarkan atas ‘illat yang ditegaskan dalam Quran dan sunnah, seperti menqiyaskan memukul kedua orang tua kepada larangan mengatakan “uf atau ah”. Qiyas khafi didasarkan atas ‘illat yang ditarik dari hukum ashal, seperti mengqiyaskan pembunuhan dengan benda tumpul kepada pembunuhan dengan benda tajam disebabkan persamaan ‘illat yaitu adanya kesengajaan. Qiyas jali lebih kuat daripada qiyas khafi, tapi jika mujtahid memandang bahwa qiyas khafi lebih besar mashlahatnya, maka qiyas jali boleh ditinggalkan.
Definisi istihsan yang lain: “Hukum pengecualian dari kaidah-kaidah yang berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.” Disebut juga istihsan istitsnai.
b. Macam-macam Istihsan
1. Istihsan bi al-nash, hukum pengecualian berdasarkan nash quran dan sunnah, seperti makan-minum dalam keadaan lupa di siang hari ramadhan, hukum asalnya batal puasa, tapi hadis nabi menegaskan hal itu tidak membatalkan puasa.
2. Istihsan berlandaskan ijma’, kebolehan jual beli barang pesanan (salam dan istishna’) yang bertentangan dengan hukum asal jual beli yang mengharuskan adanya barang pada saat akad.
3. Istihsan berlandaskan ‘urf (adat), seperti kebolehan mewakafkan benda bergerak seperti buku dan perkakas alat memasak, berdasarkan adat setempat. Padahal wakaf biasanya hanya pada harta yang bersifat kekal dan tidak bergerak seperti tanah.
4. Istihsan berlandaskan mashlalah mursalah, seperti mengharuskan ganti rugi atas penyewa rumah jika perabotnya rusak ditangannya, kecuali disebabkan bencana alam. Tujuannya agar penyewa berhati-hati dan lebih bertanggung jawab. Padahal menurut ketentuan umum penyewa tidak dikenakan ganti rugi jika ada yang rusak, kecuali disebabkan kelalaiannya.
c. Ikhtilaf Mengenai Istihsan
1. Mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali berpendapat bahwa istihsan dapat dijadikan landasan dalam menetapkan hukum, dengan menggunakan dalil-dalil yang menjadi dasar istihsan.
2. Imam Syafi’i menolak istihsan sebagai landasan hukum. Menurut beliau, menetapkan hukum berlandaskan istihsan sama dengan membuat-buat syariat baru dengan hawa nafsu. QS. Al-Maidah: 49.
3. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.
4. Ayat ini memerintahkan manusia untuk mengikuti petunjuk Allah Swt dan RasulNya, dan larangan mengikuti kesimpulan hawa nafsu. Hukum yang dibentuk melalui istihsan adalah kesimpulan hawa nafsu, jadi tidak sah dijadikan landasan hukum.
2. Ur’f (tradisi)
a. Pengertian Urf
Al-’Urf al-’am yaitu adat kebiasaan mayoritas dari berbagai negeri di satu masa. Seperti ucapan engkau telah haram aku gauli sebagai ucapan talak kepada istri.
Al-’Urf al-Khash yaitu adat yang berlaku pada masyarakat atau negeri tertentu. Seperti kebiasaan masyarakat Irak menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda.
Adat yang benar (shahih) yaitu suatu hal baik yg menjadi kebiasaan suatu masyarakat, seperti anggapan bahwa apa yg diberikan pihak laki-laki kepada calon istri ketika khitbah dianggap hadiah, bukan mahar.
Adat yang salah (fasid) yaitu sesuatu yang menjadi adat yang sampai menghalalkan yang diharamkan Allah atau sebaliknya. Seperti tari perut di Mesir saat pesta perkawinan.
العرف العرف العام العرف الخاص العرف العرف الصحيح العرف الفاسد
b. Keabsahan ‘Urf Sebagai Dalil
QS. Al-A’raf: 199. خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Ayat tsb dipahami oleh para ulama sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid untuk dijadikan landasan hukum.
Mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiah dan Malikiyah, selanjutnya baru kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah.
Imam Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya kepada perbuatan penduduk Madinah (ketika itu). Imam Syafi’i ketika hijrah ke Mesir mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yg telah dikeluarkannya ketika di Baghdad karena perbedaan ‘urf, sehingga dalam mazhab syafi’i dikenal istilah qaul qadim dan qaul jadid .
c. Syarat-syarat ‘Urf
1. ‘ Urf baru bisa dijadikan landasan hukum jika:
2. ‘ Urf itu termasuk ‘urf yang shahih, tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah.
3. ‘ Urf itu harus bersifat umum, minimal telah menjadi kebiasaan mayoritas penduduk setempat.
4. ‘ Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada ‘urf tsb. Misalnya, seseorang mewakafkan hasil kebunnya kepada ulama, yang dimaksud ulama ketika itu hanyalah orang yang punya pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah, maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan pengertian yg sudah dikenal umum, bukan istilah ulama yg populer kemudian setelah ikrar wakaf terjadi, harus punya ijazah.
Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tsb, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan ‘urf.
3. Mashalih Mursalah
a. Pengertian Mashalih Mursalah
Kata mashlahah menurut bahasa berarti “manfaat”. Kata mursalah berarti “lepas”. Secara istilah, menurut Abdul Wahab Khalaf, mashlahah mursalah berarti “sesuatu yang dianggap mashlahat namun tidak ada ketegasan hukum untuk merealisasikannya dan tidak ada pula dalil tertentu baik yang mendukung maupun yang menolaknya”, sehingga disebut mashlahat yang lepas.
b. Macam-macam Mashlahah
1. Al-mashlalah al-mu’tabarah, yaitu mashlahah yang secara tegas
diakui syariat dan telah ditetapkan ketentuan2 hukum untuk merealisasikannya. Misal: Diwajibkan hukum qishash untuk menjaga kelestarian jiwa, ancaman hukuman zina bertujuan untuk memelihara kehormatan dan keturunan, dsb.
2. Al-mashlahah al-mulghah, yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah
oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentang dengan ketentuan syariat. Misal: ada asumsi menyamakan pembagian warisan anak laki-laki dan wanita adalah mashlahah, padahal itu bertentang dengan QS. Al-Nisa`: 11.
3. Al-Mashlahah al-mursalah. Banyak terdapat dalam masalah-masalah
muamalah. Misal: Peraturan dan rambu lalu lintas.
c. Ikhtilaf Ulama pada Mashlahah
1. Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa mashlahah mursalah tidak sah
menjadi landasan hukum dalam BIDANG IBADAH, karena bidang ibadah harus diamalkan sebagaimana adanya diwariskan oleh Rasul Saw, makanya bidang ibadah tidak berkembang.
2. Mereka berbeda pendapat dalam bidang muamalah.
3. Kalangan Zahiriyah, sebagian Syafi’iyah dan hanafiyah tidak mengakui
mashlahah mursalah sebagai landasan pembentukan hukum, karena menganggap syariat Islam tidak lengkap dengan asumsi ada mashlalah yang belum tertampung dalam hukum-hukumnya.
4. Kalangan hanafiyah dan Malikiyah serta sebagian Syafi’iyah
berpendapat bahwa mashlahah mursalah secara sah dapat dijadikan landasan penetapan hukum. Alasannya, kebutuhan manusia selalu berkembang, yang tidak mungkin semuanya dirinci Quran dan sunnah, selama tidak bertentangan dengan Quran dan sunnah maka mashlahah mursalah dapat diterima.
4. Dzari’ah
Sadd al-Dzari’ah (menutup sarana). Yang dimaksud dengan al-Dzari’ah dalam ushul fiqh ialah sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau dihalalkan. Jika terdapat sesuatu sebagai sarana kepada yang diharamkan, maka sarana tersebut harus ditutup atau dicegah. Inilah yang disebut dengan Sadd al-Dzari’ah. Sedangkan kebalikannya adalah Fath al-Dzari’ah, yakni membuka berbagai sarana yang mendekatkan kepada sesuatu yang halal dan membawa kepada kemaslahatan.
Imam Malik dan Imam Ahmad menempatkan Sadd al-Dzari’ah sebagai salah satu dalil hukum. Sedangkan Imam al-Syafi’i (menurut salah satu interpretasi), Imam Abu Hanifah, dan Madzhab Syiah menerapkannya pada kondisi-kondisi tertentu. Adapun Madzhab Zhahiri menolaknya secara tegas dan totaliter.
5. Istishab
a. Pengertian Istihsab
Kata istishhab secara etimologi berarti “meminta ikut serta secara terus-menerus”. Secara terminologi, istishhab ialah “menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula, selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Contoh istishhab: Seseorang yang diketahui masih hidup pada masa tertentu, tetap dianggap hidup pada masa sesudahnya selama belum terbukti bahwa ia telah wafat. Begitupula seseorang yang telah berwudhu’, jika ia ragu, dianggap tetap wudhu’nya selama belum terjadi hal yang membuktikan batal wudhu’nya.
b. Macam-macam Istishhab
1. Istishhab al-ibahah al-ashliyah, didasarkan atas hukum asal dari
sesuatu yaitu mubah. Jenis ini banyak berperan dalam menetapkan hukum dibidang muamalah, bahwa hukum dasar dari sesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan selama tidak ada dalil yg melarangnya.
2. Istishhab al-baraah al-ashliyah, yaitu istishhab yang didasarkan atas
prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif sampai ada dalil yang mengubah statusnya itu, dan bebas dari utang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya. Misal: seseorang yang menuntut haknya dirampas orang lain, ia harus mampu membuktikannya, karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, kecuali ada bukti yang jelas.
3. Istishhab al-hukm, didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah
ada selama tidak ada bukti yang mengubahnya. Misal: pemilik asal rumah & tanah tetap dianggap sah selama tidak ada peristiwa jual beli / hibah yg mengubah status hukum kepemilikan.
4. Istishhab al-washf, istishhab yang didasarkan atas anggapan masih
tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misal: air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersih selama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
c. Mereka Berbeda Pendapat pada Jenis Istishhab al-Washf
1. Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhab al-
washf dapat dijadikan landasan hukum secara penuh, baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankan haknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak ketahuan rimbanya, tetap dianggap hidup sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. Jadi harta dan istrinya masih dianggap kepunyaannya, dan jika ahli warisnya wafat, dia turut mewarisi harta peninggalan dan kadar pembagiannya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
2. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishhab al-
washf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada, bukan untuk menimbulkan hak yang baru. Dalam contoh orang hilang tsb meskipun harta dan istrinya masih dianggap sebagai kepunyaannya, tapi jika ada hali waris yang wafat maka khusus kadar bagiannya disimpan dan belum dapat dinyatakan sebagai haknya sampai terbukti ia hidup.
6. Madzhab Shahabi
Madzhab Shabahat adalah pendapat para shahabat Rasulullah Saw tentang suatu kasus, baik berupa fatwa maupun ketetapan hokum, sedangkan nash tidak menjelaskan hukum tersebut. Dalam hal ini, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat setidak-tidaknya terbagi menjadi empat pandangan sebagai berikut.
a. Madzhab shahabat tidak dapat dijadikan sebagai dalil hukum.
Pandangan ini dikemukakan oleh jumhur ulama Syafi’iyyah, salah satu riwayat dari Ahmad, ulama mutaakhirin dari Madzhab Hanafi dan Madzhab Maliki, dan Ibnu Hazm dari Madzhab Zhahiri.
b. Madzhab shahabat bisa dijadikan dalil hukum dan didahulukan dari qiyas. Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama dari Madzhab Hanafi, Imam Malik, qaul qadim Imam al-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
c. Madzhab shahabat bisa dijadikan dalil hukum bila dikuatkan oleh qiyas.
Salah satu pandangan yang mendukung terhadap pendapat ini adalah qaul jaded dari Imam al-Syafi’i.
d. Madzhab shahabat bisa dijadikan dalil hukum bila terjadi kontroversi dengan qiyas. Sifat kontroversinya itu menunjukkan bahwa hal itu bukan termasuk qiyas, tetapi merupakan bagian dari sunnah. Pendapat ini bersumber dari Madzhab Hanafi.
Penutup
Dalil-dalil yang tidak disepakati adalah sebuah hujjah dari setiap para ulama yang dengan pikirannya menafsirkan dengan berbagai cara baik dengan metode al-Qur’an maupun Hadis, sehingga banyak kontrofersi dikalangan para ulama terdahulu. Dan saya sebagai pemakalah sedikit menjelaskannya diatas tentang dalil-dalil yang tidak di sepakati, mudah-mudahan bisa bermanfa’at dan berguna bagi saya dan kaum muslimin pada umumnya. Amin...
Daftar Pustaka
Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fikih. Jakarta. Pustaka Firdaus. Cet. IV. 1997
Al-Qattan, Manna Khalil. 2009. Cet. 2. (Terj. Mudzakir AS). Studi Ilmu-
Ilmu Quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Harun, Nasarudin. Ushul Fikih. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu. Cet II. 1997
Syafi’i, Rachmat. Ilmu ushul Fikih. Bandung: Pustaka Setia. 1998