Sabtu, 10 November 2012

Cina: Nyanya dan Waisesika


adapun Zaman Weda yang meliputi Weda Samhita, Weda Brahmana, dan Upanisad dan kali ini pemakalah akan menjelaskan Zaman Sutra-Sutra (200 M). Zaman ini di tandai dengan perkebangannya sikap kritis terhadap India. Pada zaman Wiracarita ( 600SM-200M), orang sudah mulai melihat pentingnya sarana-sarana pembantu untuk dapat menjelaskan segala macam mantra dan bahasa-bahasa kuitis, apalagi orang sulit memahami bahasa sangkrit. Alat-alat bantu itu adalah ilmu fonetik, tata bahasa dan lain-lain. Sebelum itu sudah ada kitap Wedanta yang pada mulanya di tutur secara lisan namun kemudian di bukukan kedalam bentuk sutra, yakni tulisan-tulisan singkat dalam bentuk prosa supaya mudah di hafal dan dibaca.

Pentahapan sutra-sutra itu sebagai berikut: 1. Kalpasutra yaitu penjelasan sistematis tentang korban. 2. Dharmasutra yaitu sutra yang berisikan tentang Dharma, yaitu tugas dan kewajiban manusia.yang di tuntut Weda.

Sistem-sistem filsafat india terdiri dari dua golongan, yaitu: golongan Askita (ortodoks) dan golongan Nastika (heterodoks). Yang termasuk golongan Astika adalah filsafat yang mengakui kedaulatan Weda, sedangkan golongan Nastika tidak mengakuinya. Adapun yang termasuk golongan Nastika ialah apa yang disebut Zad darsana atau enam sistem filsafat, yaitu: Nyaya, Waisesika, Sankhya, Yoga, Purwamimamsa, dan Uttra Mimamsa, atau Wedanta. Kedua dari ke enam sistem inilah yang akan di bicarakan di dalam makalah ini.[1]

Nyaya
Nyaya adalah ajaran logika dan cara berdebat, oleh Gautama. Berpangkal pada penafsiran dan penyelidikan tulisan-tulisan kuno ditentukan suatu cara berpikir (nyaya). Terutama terkenel dengan uraian alat-alat pengetauan yang disebut pramana (terdiri dari pratayaksa: pengalaman indera; anumana atau induksi; sabda, yakni tradisi atau kewibawaan; upawama: penalaran) dan aunumana: silogisme india.[2] Nyaya berpangkal kepada keyakinan bahwa dunia di luar kita itu berdiri sendiri, lepas daripada pikiran kita. kita dapat mempunyai pengetahuan tentang dunia diluar kita itu, yaitu dengan perantaraan pikiran kita. di dalamnya usaha untuk mengetahui diluarnya, pikiran dibantu oleh indera kita. karena pendirian yang demikian ini maka sistim nyaya dapat disebut sistim yang realistis.

Menurut sistim nyaya ada empat alat untuk mendapatkan pengatahuan yang berlaku atau yang benar, yaitu: [3]

1. Pengamatan ( pratyaksa)
Memberikan pengetahuan kepada kita tentang sasaran yang diamati menurut ketentuan sasaran itu masing-masing ( meja bundar, kursi panjang, dan sebagainya). Pengetahuan itu dimungkinkan karena adanya hubungan diantara panca indera kita dengan sasaran yang diamati. Hhubungan ini adalah hubungan yang nyata, yang benar-benar ada. Sebab setiap indera kita di buat dari salah satu dari kellima anasir, dari mana dunia ini dijadikan (aksa (eter), hawa, api, air dan bumi).tiap indera berhubungan dengan sifat khas dari sasaran yang diamati, umpamanya: mata melepaskan sinar-sinar yang menangkap warna, telinga menangkap suara ( hawa, angin) dan sebagainya.

Memang adakalanya pengamatan dapat terjadi tanpa pertolongan indera, akan tetapi ini adalah pengamatan yang luar biasa atau yang bersifat transendan, yaitu umpamanya, bahwa seorang yogin dapat bicara secara langsung mengetahui hal-hal yang tidak dapat diamati oleh orang biasa. Hal ini disebabkan karena orang itu memiliki kekuatan gaib yang memungkinkan dia berhadapan dengan sasaran-sasaran yang mengatasi indera kita.

2. Penyimpulan ( anumana)
Ajaran yang terpenting di dalam sistim nyaya ialah ajaran tentang penyimpulan ( anumana). Secara harfiah kata anumana berarti “pengetahuan kemudian”. Dengan pengamatan kita mendapatkan pengetahuan secara langsung. Kita melihat sebuah meja, lalu tahu itual meja. Tidaklah demikian halnya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan penyimpulan. Pengetahuan yang diperoleh dengan penyimpulan memerlukan sesuatu yang berada diantara subyek yang mengamati dan obyek atau sasaran yang diamati. Umpamanya: kita melihat gunung merapi memerlukan asap. Pengamatan memberitahukan bahwa yang kita lihat itu “ gunung berasap”. Akan tetapi penyimpulan memberitahukan, bahwa yang kita lihat itu “gunung berapi”. Diantara mata saya dan asap yang dilihat ada “api” ditengah-tengahnya.
Cara menyusun uraian itu adalah sebagai berikut:[4]
1. Gunung itu berapi
2. Sebab ia berasap
3. Apa saja yang berasap tentu berapi (misalnya dapur)
4. Jadi, gunung itu berapi

Uraian “menyimpulkan” ( syllogism) di atas bermaksud menunjukan bahwa adanya api di gunung (5) disimpulkan dari pengamatan adanya asap pada gunung (2). Kesimpulan itu dapat diambil, karena ada dalil umum, yang mengahi, yang menunjukan bahwa ada hubungan yang erat antara api dan asap (3). (Perlu diperhatikan, bahwa dalil umum dikuatkan dengan suatui contoh yang khas, yaitu dapur. (3). Hal ini menunjukan, bahwa dalil umum itu didasarkan atas pengalaman juga).

Jadi, pengetahuan kita tentang api di gunung itu tergantung daripada pengamtan kita tentang asap, yang memang sudah dikeanal sebagai yang senantiasa menyertai api. Pengamatan kita sendiri hanya menunujukan bahwa ada asap pada gunung. Agar supaya kita dapat meyimpulkan bahwa ada api di gunung itu, diperlukan bantuan dalil umum yang berdasarkan pengamatan juga. Teranglah, bahwa pengamatan yang diperoleh dengan penyimpulan itu memerlukan perantara. Atau dapat dikataka bahwa pengetahuan yang karena peyimpulan itu memerlukan bantuan pengetahuan lain.

3. Pembandingan ( upamana)
Yaitu alat pengetahuan yang menjadikan orang tahu adanya kesamaan antara dua hal. Pembandingan menghasilkan pengetahuan tentang adanya hubungan anatara nama atau sebutan dengan obyek atau sasaran yang disebut nama itu. Umpamanya: seorang penduduk kota telah kenal akan nama atau sebutan gawaya ( lembu hutan), akan tetapi belum tahu isi sebutan itu, karena belum pernah melihat binatangnya. Dari seorang penjaga hutan ia mendengar bahwa gawanya adalah binatang hutan yang serupa dengan lembu. ( penduduk kota sudah tahu apa lembu itu, sebab lembu berkeliaran di mana-mana). Ketika ia pergi ke hutan ia melihat seekor binatang yang belum pernah ia lihat, tetapii yang serupa dengan lembu. Ia inagat akan keterangan yang diterimanya dari penjaga hutan, maka segera ia melihat kesamaan anatar nama gawanya dengan binatang yang sedang dilihatnya itu.

4. kesaksian ( sabda).
Alat pengetahuan atau pramana yang terakhir adalah kesaksian sabda, yaitu (1) kesaksian yang diberikan orang yang dapat dipercaya, yang dinyatakan di dalam kata-katanya (laukika), dan (2) kesaksian weda (waidika). Oleh karena semua bagian kitab weda dipandang sebagai wahyu tuhan, maka kesaksian kitab weda dipandang sebagai sempuirna dan tidak salah. Akan tetapi kesaksian manusia tidaklah demikian. Kesaksian manusia dianggap benar jika yang menyaksikan adalah orang yang dapat dipercaya.[5]

Tuhan termasuk golongan jiwa. Perbedaannya ialah bahwa tuhan adalah jiwa yang tertinggi, yang kekal, yang berada dimana-mana dan kesadaran yang agung. Tuhan disebut paramatman, dan menjadi sebab adanya dunia ini. Ia adalah penggerak pertama dari atom yang pertama. Kemudian atom-atom itu karena penggabungan menjadi dunia yang besar ini. Tuhan bukan hanya menjadi pencipta dunia, ia jugalah yang merawatnya dan yang meleburnya, sesuai dengan karma atau perbuatan para jiwa.

Waisesika
Waisesika: sedikit lebih tua dari pada nyaya. Mulanya ia berdiri sendiri namun kemudian mulai bersatu dengan nyanya. Tujuan pokok waisesika bersifat metafisis. Isi pokok ajarannya menerangkan tentang dharma, yaitu apa yang memberikan kesejahteraan di dalam dunia ini dan yang memberikan kelepasan yang menentukan. Yang terpenting dari ajaran Waisesika ialah ajaran tentang kategori-kategori dari segala yang ada.

Menurut Waisesika ada tujuh katagori (padharta), yaitu: substansi (drawya), kwalitas (guna), aktivitas (karma), sifat umum (samanya), sifat perorangan (wisesa) pelekatan (samawaya) dan ketidakadaan.[6]

1. Substansi menurut paham ini adalah sesuatu yang bebas, tidad tergantung
pada kategori yang lain. ada Sembilan macam substansi, yaitu: bumi, air, api, hawa, akasa (kelima anasir), waktu, ruang, pribadi (atman) dan akal (manas). Kesembilan substansi ini bersama-sama membentuk alam semesta ini baik yang jasmani maupun yang rohani.[7]

Substansi yang termasuk bahan atau zat jasmaniah adalah: bumi, air, hawa dan waktu serta ruang, sedang yang termasuk zat rohani adalah: pribadi ( atman) dan akal (manas). Kedua inilah yang membentuk “pribadi”.

2. Kwalitas, kwalitas ada yang berlakusecara khusus pada beberapa substansi
dan ada juga yang bersifat umum, dalam arti bahwa kwalitas itu terdapat lebih dari satu kelompok substansi. Keempat anasir pembentuk bumi memiliki kwalitas yang berbeda-beda. Hawa memiliki kwalitas raba, api memiliki kwalitas raba dan warna, air memiliki kwalitas raba, warna dan rasa, sedang bumi memiliki kwalitas raba, warna, rasa dan bau. Dari kwalitas-kwalitas yang bermacam-macam itu biasanya satu dipandang sebagai yang membedakan anasir yang satu dengan yang lain.

3. Pelekatan, secara teori suatu substansi dapat berada tanpa suatu kwalitas
untuk sementara waktu, akan tetapi tidak ada kwalitas yang didapatkan sendiri. Ketergantungan yang sepihak ini membuktikan bahwa hubungan substansi dan kwalitas adalah suatu hubungan yang disebut pelekatan yakni, tidak terputus-putus antara dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

4. Aktifitas, hubungan yang sama dengan ini berlaku bagi hubungan
substansi dengan aktivitas, “gerak” atau “perbuatan”. Yakni kategori yang ke-3. Tidak semua substansi dapat bergerak. Hanya substansi yang terdiri dari atom-atom dan yang bersifat terbataslah yang dapat mengubah tempatnya yang dapat membuat gerak.

5. Sifat perorangan, perbedaan diantara atom dengan atom yang lainnya
merupakan sifat individualiltas dari masing-masing atom tersebut.

6. Sifat Umum, cirri-ciri umum yang menjadikan semuanya itu dapat
dikelompokan disebut samanya “hal yang umum. Cirri umum ini tidak pernah berdiri sendiri, tetapi tampak hanya melalui hal-hal yang khusus bersama-sama.

7. Abhawa, ketidakadaan yang menyatakan sesuatu tidak berada disuatu
tempat. Kategori ini harus dibedakan dengan “tidak ada secara mutlak”.

Penutup
Nyaya adalah pembicaraan mengenai bagian umum filsafat dan metodologi penelitian yang kritis (ilmu berdebat). Menurut system ini terdapat empat alat pengetahuan yang benar yakni pengamatan (relasi dengan duna luar), penyimpulan (silogisme), perbandingan dan kesaksian.

Waisesika: sedikit lebih tua dari Nyaya. Mula-mula ia berdiri sendiri namun kemudian bersatu dengan nyaya. Karena itu disebut nyaya-weisesika. Tujuan pokoknya bersifat metafisis dan dijelaskan tentang dharma (tugas, kewajiban, kebahagiaan dan pelepasan). Ia mengemukakan tujuh kategori dari segala sesuatu yang ada. Substansi memiliki Sembilan macam unsure. Semuanay bersama-sama membentuk alam semesta (jasmani dan rohani).

Demikianlah urain-uraina tentang Nyaya dan Weisesika yang sangat singkat ini, mudah-mudahan ada manfaatnya.

Daftar Pustaka
Ahmad, Sudiarja Dkk. Karya lengkap Driya Arkara. Jakarta: Gramedia. 2006.
Hadiwijono, Harun, Sari Filsafat India, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.
Kebung, Konrad. Filsafat berfikir orang Timur. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2011
____________________
[1] Konrad Kebung. Filsafat Berfikir orang Timur. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal. 107
[2] Ahmad, Sudiraja Dkk. Karya lengkap Driya Arkara. Jakarta: Gramedia. 2006. H. 1058
[3] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia 1985. H. 53
[4] Harun Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia 1985. H. 55
[5] Harun, Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta Pusat: BPK Gunung Mulia 1985. H. 56
[6] Harun, Hadiwijono, Sari Filsafat India, Jakarta Pusat: Bpk Gunung Mulia 1985. H. 58
[7] Konrad Kebung. Filsafat berfikir orang Timur. Jakarta: Prestasi Pustaka. Hal. 108-109

0 komentar:

Posting Komentar